Istilah Bioteknologi untuk pertama kalinya di
kemukakan oleh Karl Ereky, seorang insinyur Hongaria pada Tahun 1917.
Bioteknologi tidak hanya berkembang pada akhir – akhir ini saja, bioteknologi
telah dimanfaatkan sejak ribuan tahun yang lalu di segala bidang seperti
industri pangan, obat – obatan, pertanian, kesehatan, dan pengelolaan di
lingkungan, di masa lalu bioteknologi dilakukan secara sederhana. Perkembangan
yang pesat baru terjadi setelah diketahui mikroorganisme melakukan fermentasi
yang di plopori oleh Louis Pasteur sehingga beliau mendapat julukan sebagai
bapak bioteknologi.
In Vitro mengacu pada studi di biologi eksperimental yang dilakukan
menggunakan komponen dari organisme yang telah diisolasi dari konteks yang
biasa biologis mereka untuk membuat analisa yang lebih rinci atau lebih nyaman
daripada yang dapat dilakukan dengan organisme keseluruhan, biasa disebut
sebagai “percobaan tabung reaksi”. Percobaan In vitro meliputi:
a.
Sel Berasal dari organisme multiseluler (kultur sel atau kultur jaringan)
b.
Komponen subseluler (misalnya mitokondria atau ribosom)
c.
Ekstrak seluler atau subbseluler (misalnya gandum atau retikulosit ekstrak)
d.
Molekul dimurnikan dalam tabung tes (protein, DNA atau RNA)
Contoh dalam pekerjaan vitro
-
Polymerase chain reaction adalah metode untuk replikasi secara selektif dan
spesifik dan urutan RNA dalam tabung tes.
-
Pemurnian protein melibatkan isolasi protein tertentu yang menarik dari
campuran kompleks dari protein, sering diperoleh dari sel atau jaringan
homogen.
-
In Vitro fertilisasi digunakan untuk memungkinkan spermatozoa untuk membuahi
telur dalam wadah budaya sebelum menanamkan embrio yang dihasilkan.
-
In Vitro diagnostik mengacu pada berbagai tes laboratorium medis untuk
mendiagnosa penyakit.
Penyerbukan didefinisikan sebagai peristiwa pemindahan atau jatuhnya
pollen dari anther pada kepala putik (stigma) baik pada bunga yang sama atau
bunga lain yang masih dalam satu spesies. Jika pollen sesuai (compatible),
pollen akan berkecambah pada kepala putik dan membentuk sebuah tabung pollen
yang akan membawa gamet jantan pada gametofit betina. Suatu senyawa protein
tertentu pada awal pembentukan pollen yang disebut Lectin, terdapat di dalan
exine dan intine. Lectin berperan penting dalam mekanisme mengenali antara
putik-pollen. Namun bila pollen tidak sesui (incompatible), perkecambahan pollen
akan terhambat atau pertumbuhan tabung pollen akan tertahan dalam jaringan
pemindah. Ketidaksesuaian dapat diwujudkan dalam jaringan baik kepala putik
maupun stylus pada berbagai fase sebelum pembuahan (fertilisasi). Karena adanya
ketidaksesuaian antara pollen dan stigma maka pekerjaan pemuliaan tanaman
adalah mengatasinya agar tetap bisa berlangsung fertilisasi, dengan
mengembangkan beberapa metode, antara lain:
1) Polinasi kuncup
2) Polinasi tertunda
3) Polinasi invitro
4) Polinasi intra ovari
Pemanjangan tabung pollen
adalah tetap untuk setiap spesies. Ketika butir pollen siap dipencarkan, pollen
ini dalam keadaan dormansi dengan kadar air antara 10-15% hampir mirip dengan
biji. Pada Gramineae mempunyai umur pollen yang relatif pendek, misalnya pollen
Paspalpum akan kehilangan viabilitasnya setelah 30 menit. Kebanyakan pada
tanaman berbunga pollen akan mengalami penurunan secara drastis setelah 12 jam
mengalami dehiscence. Namun viabilitas pollen dapat diperpanjang dalam keadaan
artifisial yaitu bila disimpan pada temperatur dan kelembaban yang rendah.
Pollen akan segera berkecambah
setelah beberapa menit dilepas oleh anther, bila ketersediaan dari air, garam
anorganik tertentu, termasuk boron dan sumber energi seperti sukrose cukup.
Tabung pollen akan masuk ke dalam stigma melalui diantara sel-sel jaringan
pemindah di dalam stylus dan akhirnya mencapai ovul. Waktu yang diperlukan
pollen untuk mencapai ovul antara 12-24 jam. Waktu yang digunakan untuk proses
tersebut setiap spesies tidak sama, seperti pada Taraxacum diperlukan 15 menit
sedangkan pada pohon Quercus memerlukan waktu 14 bulan.
Pembentukan buah dimulai dengan adanya proses penyerbukan yang
meliputi pengangkutan polen dari benang sari (stamen) ke putik (pistillum)
dan jatuhnya butir-butir polen di atas kepala putik (stigma).
Selanjutnya, polen akan berkecambah dan membentuk tabung polen untuk mencapai
bakal biji (ovule). Peristiwa bertemunya polen (sel jantan) dengan bakal
biji (sel telur) di dalam bakal buah (ovary) disebut pembuahan (fertilisasi).
Kepala putik yang telah masak biasanya mengeluarkan lendir yang
mengandung larutan gula dan zat yang diperlukan untuk perkecambahan polen.
Polen yang normal akan berkecambah dengan terlebih dahulu menyerap air dan zat
– zat lain yang terdapat pada media, kemudian polen akan mengembung, sehingga
pori pada polen akan pecah dan mengakibatkan polen berkecambah. Butir polen
akan membelah secara mitosis menjadi dua buah inti yaitu inti vegetatif
(tube nucleus) dan inti generatif (inti sperma). Pada saat mulai
berkecambah inti generatif membelah diri menjadi dua inti sperma, sehingga
dalam tabung polen terdapat dua buah inti sperma (sperm nuclei) dan satu
inti vegetatif. Pertumbuhan tabung polen seluruhnya diatur oleh inti vegetatif,
sedangkan kedua inti sperma bertugas untuk melakukan pembuahan di dalam bakal
biji. Polen yang berkecambah di atas kepala putik akan tumbuh memanjang ke
bawah dan masuk ke dalam saluran tangkai putik (canalis stylinus) menuju
ruang bakal buah (ovarium) sampai ujungnya dapat menyentuh kantung
embrio (saccus embryonalis). Dengan demikian, tabung polen harus lebih
panjang daripada tangkai putik. Pada umumnya pertumbuhan tabung polen pada
saluran tangkai putik berjalan lambat. Untuk mencapai ruang bakal buah biasanya
diperlukan waktu antara 5 – 60 jam dan kadang-kadang mencapai lima hari atau
lebih (Darjanto dan Satifah, 1990).
Pemuliaan
tanaman terjadi melalui hibridisasi dan seleksi. Dengan menyilangkan tanaman,
pemulia berusaha untuk menggabungkan karakter terbaik dari 2 tanaman yang
berbeda. Melalui seleksi, pemulia mencoba untuk menyeleksi anakan yang memiliki
kombinasi kualitas yang optimal dari kedua tanaman induk. Proses ini tentu saja
sangat tergantung pada produksi benih viable. Jika benih viabel tidak
terbentuk, tidak akan ada keturunan yang akan diseleksi. Tidak ada anakan tidak
berarti fertilisasi tidak terjadi setelah polinasi. Kemungkinan terjadi
keguguran embryo pada fase dini perkembangan biji, akibat penyebab yang tidak
diketahui. Dengan teknik kultur jaringan, embryo yang belum matang ini dapat
diselamatkan (SBW International, 2008)
Teknik
penyelamatan embrio (embryo rescue) mulai dikembangkan tahun 1900an yang
memungkinkan benih yang belum matang atau embrio diselamatkan untuk membentuk
tanaman baru. Ini biasanya dilakukan untuk benih – benih yang memiliki masa
dormansi yang panjang. Belakangan ini juga berkembang teknik penyelamatan bakal
biji yang telah terserbuki tapi tidak pernah menghasilkan benih viable.
Penyelamatan embryo banyak dilakukan untuk memperoleh hibrida interspesifik dan
intergenerik. Misalnya pada kentang dan berbagai tanaman hias.
Pesatnya
perkembangan industri obat tradisional akhir-akhir ini menyebabkan peningkatan
bahan baku obat tradisional dalam jumlah yang banyak. Seiring dengan hal itu
maka diperlukan usaha untuk propagasi atau produksi tanaman obat. Salah satu
cara yang dapat ditempuh adalah dengan metode kultur jaringan tanaman. Selama ini sumber eksplan
yang digunakan adalah berasal dari organ vegetativ, seperti batang, daun,
rimpang atau akar. Untuk produksi tanaman dalam jumlah besar belum banyak
dilakukan terobosan melalui kultur mikrospora. Sebetulnya mikrospora adalah
serbuk sari yang masih muda, terdapat di dalam kepala sari dan dalam
perkembangannya serbuk sari akan menjadi gamet jantan yang bertugas dalam
penyerbukan dan pembuahan (Suryowinoto, 1996).
Pemuliaan
tanaman untuk mendapatkan varietas unggul adalah salah satu usaha dalam
menanggulangi kendala produksi. Namun demikian pemuliaan tanaman dengan cara
persilangan dua atau lebih individu, yang dilanjutkan dengan
seleksi sering menghadapi hambatan; antara lain: inkompatibilitas dan tidak tersedianya sumber
gen yang diperlukan dalam plasma nutfah budidaya.
Bioteknologi
menawarkan beberapa cara yang dapat diaplikasikan dalam pemuliaan tanaman padi,
yaltu kultur jaringan, teknik penyelamatan
embrio untuk persilangan yang melibatkan kerabat liar, analisis isoenzim atau DNA untuk berbagai sifat, serta rekayasa
genetik. Dalam tulisan ini dikemukakan beberapa hasil kegiatan yang
dilakukan di Balai
Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan,
yang meliputi kultur antera
(jaringan), teknik penyelamatan
embrio dan transformasi (rekayasa
genetik).
Penanaman FI
hasil persilangan antara tetua akan menghasllkan progeni yang bersegregasi. Untuk mendapatkan progeni-progeni
yang homozigot melalui perpanjangan generasi diperlukan sekitar 8 generasi (F8).
Kultur antera adalah salah satu teknik
kulturjaringan yang dapat mempercepat proses mendapatkan galur homozigot
melalui penggandaan. Menurut Zapata(1990),secara
teoritis kultur antera memiliki beberapa keuntungan yakni : (a) memperoleh siklus pemuliaan dengan
didapatnya homozigotas secara cepat; (b)menambah efisiensi seleksi; (c) memperluas
variabilitas genetik melalui produksi variasi gametoklonal; dan (d) gen resesif
terekspresi lebih cepat.
Teknik kultur
anter pertama kali berhasil pada sub
spesies padi japonica
tahun 1968 (Niizeki
dan Oono, 1968). Selanjutnya penelitian diperluas untuk Indica (Karim, 1987; Reddy et al., 1985). Sedangkan untuk
Javanica yang banyak terdapat di Indonesia tampaknya belum mendapat perhatian.
Di Indonesia,kultur antera padi diperkenalkan pada tahun 1991 dan masih terus
digunakan program pemuliaan padi (Dewi et al., 1996; Hanarida, 1997; Suwarno,
1996).
Keberhasilan kultur
antera dalam arti
persentase regenerasi yang memadai untuk
dapat melakukan seleksi, tentu
sangat membantu program pemuliaan padi. Namun demikian beberapa hal sangat
mempengaruhi keberhasilan kultur antera, yaitu komposisi media, praperlakuan
eksplan, genotipe tanaman, lingkungan,
dan stadia eksplan. Faktor-faktor tersebut selain mempengaruhi efisiensi
regenerasi itu sendiri, juga mengakibatkan permasalahan albino. Penelitian
untuk mengatasi kendala pembentukan albino dalam teknik kultur antera telah
dilakukan (Purwoko et al., 2000) yaitu dengan penambahan poliamin kepada media induksi kalus dan regenerasi.
Secara umum
metode kultur antera adalah sebagai berikut : (I) eksplan dikoleksi pada saat
bunting; (2) praperlakuan pacta suhu 5° C selama (10-12) hari; (3)induksi
kalus; (4) regenerasi; dan (5)
aklimatisasi. Jumlah mikrospora di dalam suatu kepala sari sangat banyak. Hal
ini sebetulnya dapat dijadikan sebagai sumber eksplan dalam pengerjaan kultur
jaringan tanaman. Meskipun demikian
karena perkembangannya menghasilkan gamet jantan maka diperlukan usaha untuk
memblok jalur perkembangan gametofitik tersebut. Apabila jalur
perkembangan ini dapat dibelokkan dengan
suatu cekaman maka sel-sel mikrospora akan menjadi mikrospora yang embriogenik,
suatu sifat yang identik dengan zigot pada tanaman diploid (2n). Apabila
mikrospora embriogenik ini dikulturkan pada media yang diperkaya maka proses
embryogenesis akan berlangsung sampai dihasilkan tanaman (Reynolds, 1997). Sifat totipotensi sel tidak hanya ditunjukkan
oleh sel-sel somatik. Sifat ini juga sudah dibuktikan pada sel gamet jantan
(Touraev dkk., 1997). Beberapa tahun yang lalu juga sudah diteliti sifat
totipotensi melalui kultur mikrospora tanaman dikotil (Solanaceae dan Brassica
napus) dan pada tanaman monokotil (gandum). Mikrospora dari tanaman tersebut
diinduksi dengan praperlakuan stres berupa starvasi nitrogen dan karbohidrat
pada suhu tinggi. Hasilnya lebih dari 70% mikrospora menjadi embriogenik dan biasanya
langsung menjadi embrioid (Indrianto dkk., 2001). Kultur mikrospora berbeda
dengan kultur kepala sari. Untuk kultur kepala sari digunakan kepala sari sebagai eksplan dan ditanam di medium padat.
Pada kultur mikrospora eksplan yang digunakan adalah sel-sel mikrospora, kepala
sari harus dipecah lebih dulu, mikrospora ditanam di medium cair (Ferrie dan
Keller, 1995).
Metode untuk
menghasilkan tanaman haploid dengan kultur kepala sari mempunyai kekurangan.
Pertama kesulitan untuk analisis terjadinya induksi, kedua kesulitan menetapkan stadium awal
perkembangan embrioid (Reynolds, 1997). Bentuk serbuk sari embriogenik juga
dilaporkan pada kultur mikrospora tembakau dan Brassica napus , bahwa dalam
kultur mikrospora (1) tidak membutuhkan induksi awal pada kepala sari untuk
androgenesis, (2) medium yang ditetapkan tidak dilakukan penambahan zat
pengatur tumbuh, (3) perkembangan terletak di luar kepala sari dan oleh sebab
itu mudah dilakukan berbagai manipulasi terhadap mikrospora, dan (4) lebih dari
70% mikrospora dapat menuju embriogenesis (Reynolds, 1997; Pechan dkk., 1991;
Kyo dan Harada, 1986).
Mattjik (2005)
menyatakan, dalam perbanyakan secara
in vitro, yang terjadi adalah mutasi somatik. Sel yang bermutasi
saat membelah akan membentuk sekumpulan sel yang berbeda dengan selasalnya.
Tanaman yang berasal dari sel-sel yang bermutasi akan membentuk tanaman
yangmungkin merupakan klon baru yang berbeda dengan induknya.Perbaikan tanaman
melalui variasi somaklonal telah banyak dilakukan, antara lain untuk sifat
ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Cara tersebut bermanfaat bila
dapatmenambah komponen keragaman genetik yang tidak ditemukan di alam serta
mengubah sifatdari kultivar yang ada menjadi lebih baik, terutama untuk tanaman
yang diperbanyak secaravegetatif atau menyerbuk sendiri (Ahloowalia 1990).Keragaman
somaklonal adalah keragaman genetik yang terjadi pada sel-sel
somatik karena adanya keragaman kromosom. Oleh karena itu keragaman
genetik bisa terjadi padatingkat sel, protoplasma, kalus, jaringan dan
morfologi tanaman yang telah mengalamiregenerasi. Keragaman disebabkan karena
adanya perubahan jumlah dan struktur kromosom.Stabilitas genetik dalam
perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan perlu dipertahankan, olehkarena itu
perubahan genetik sangat dihindarkan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perubahan genetik yang sering terjadi dalam kultur sel atau jaringan
disebabkan antara lain adanya poliploidi, aneuploidi, kerusakan
kromosom,delesi, translokasi, amplifikasi gen dan mutasi. Keragaman genetik
dalam kultur jaringan diekspresikan dalam bentuk variasi sifat-sifat
pada tanaman yang beregenerasi yangkemudian dapat diturunkan baik melalui
perbanyakan secara seksual maupun vegetatif.Keragaman genetik terjadi pada
sel-sel yang dikulturkan, tanaman yang berasal dari sel-sel tersebut disebut
variasi somaklonal. Terminologi lain adalah variasi atau keragaman gametoklonal
yang mengacu pada keragaman yang terjadi pada polen tanaman, tetapi istilah
ini jarang dipakai. Secara umum, istilah keragaman somaklonal digunakan
untuk keragaman genetik yang terjadi pada semua jenis sel atau tanaman
yang berasal dari sel-sel yang dikulturkan secarain vitro. Keragaman tanaman
hasil kultur jaringan atau sel menunjukkan sifat kualitatif maupunkuantitatif
yang dapat diturunkan.
Keragaman somaklonal
yang terjadi pada biakan in vitro bisa diakibatkan karena selsomatik membelah
secara tidak sempurna baik karena suhu yang tinggi, genotipe, atau perlakuanzat
kimia yan menyebabkan replikasi kromosom tidak berjalan sempurna. Pada kultur
jaringansering terjadi bila jaringan yang dikulturkan mengalami pembelahan sel
yang sangat intensif danmembentuk kalus. Keragaman sel-sel somatik tersebut
dapat dimanfaatkan untuk diseleksi sifat-sifat unggulnya.Variasi pada tingkat
kromosom akan menyebabkan perubahan fenotipe tanaman baik yang bersifat
permanen maupun tidak permanen. Upaya meningkatkan variasi sel
somatik melalui kultur sel atau kalus banyak dilakukan untuk mendapatkan
galur-galur mutan secaracepat. Galur-galur mutan tersebut antara lain ditujukan
untuk: (i) mendapatkan tanaman yangmampu tumbuh pada cekaman lingkungan seperti
kadar Al tinggi, kadar garam yang tinggi,kekeringan dll.(ii) mendapatkan
tanaman yang resisten terhadap hama, penyakit dan herbisida,(iii) memproduksi
senyawa kimia tertentu (asam amino, metabolit sekunder) dalam jumlah
yangtinggi.Berbagai cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keragaman pada
sel somatik antara lain dengan induksi mutasi menggunakan radiasi atau
bahan kimia mutagen. Radiasi dapatmenggunakan radiasi sinar UV, sinar X-ray,
atau sinar gamma. Radiasi dari sinar radioaktif dapat menyebabkan mjtasi
pada tingkat kromosom ataupun DNA. Pengaruh radiasi terhadapmutasi tergantung
pada tipe radiasi, pengaruh lingkungan sel sebelum dan sesudah radiasi, danfase
pertumbuhan tanaman yang diradiasi.Radiasi jaringan menghasilkan mutasi hanya
pada bagian tertentu dari jaringan yangdapat mengakibatkan terbentuknya
khimera. Penggunaan mutagen kimia untuk mendapatkankeragaman genetik pada sel
somatik akan menyebabkan mutasi pada tingkat DNA. Mutasi inidapat mengubah
struktur asam amino tertentu, menyebabkan penggandaan kromosom
ataumenginaktifkan DNA. Mutagen kimia yang banyak digunakan untuk induksi
mutasi adalah:Ethyl metane sulfonate (EMS), methyl metane sulfonaate (MMS),
Chloro choline chlorida, 5- bromourasil, dan 5-bromodeoxyuridine.
Bioteknologi
tanaman pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu kultur in vitro
dan rekombinasi DNA. Perbaikan genetik tanaman melalui kultur in vitro
dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain peningkatan
keragam-an somaklonal, penyelamatan embrio,fertilisasi in vitro , kultur haploid, dan fusiprotoplas
(hibridisasi somatik). Dalam hibridisasi seksual terdapat hambatan apabila
kedua tetua yang disilangkan mempunyai hubungan kekerabatan yang jauh serta
sitoplasma hanya berasal dari tetua betina. Salah satu alternatif untuk
mengatasi hambatan tersebut adalah melalui fusi protoplas yang dapat
memindahkan gen yang belum ter-identifikasi dan sifat yang diwariskan secara
poligenik (Millam et al . 1995).
Keragaman
tanaman yang dihasilkan melalui fusi protoplas lebih tinggi dibandingkan
melalui persilangan seksual karena: 1) terjadinya segregasi inti dan sitoplasma
yang menghasilkan kombinasi unik antara informasi genetik pada inti dan
sitoplasma, 2) instabilitas kombinasi inti sel yang menyebabkan hilangnya
beberapa informasi genetik, dan 3) variabilitas akibat subkultur relatif tinggi
sehingga dapat membentuk keragaman somaklonal (Ammirato et al.
1983). Fusi protoplas dapat dilakukan secara simetris dan asimetris.
Fusi simetris didapat dengan menggabungkan dua jenis genom sehingga diperoleh
hasil yang bersifat antara (intermediate ). Fusi asimetris didapat dengan cara
genom inti salah satu tetua dihilangkan (melalui iradiasi) dan tetua yang lain
dihilangkan sitoplasmanya dengan iodoasetomide. Hasil fusi asimetris umumnya
disebut dengan nama cybrid.
Penelitian
fusi protoplas telah menghasilkan hibrida-hibrida somatik yang mempunyai
sifat-sifat seperti yang diharapkan, antara lain tahan terhadap hama dan
penyakit, produktivitas tinggi, dan sifat-sifat kualitatif yang lebih baik,
seperti kandungan minyak tinggi. Fusi simetris dapat menghasilkan keragaman
genetik yang tinggi yang bermanfaat dalamnprogram pemuliaan. Melalui beberapa
kali silang balik ( back cross ) dilanjutkan dengan seleksi dapat dihasilkan
kultivar baru (Serraf 1991; Millam et al.
1995; Nyman dan Waara 1997; Mariska et al.2002).
Teknologi tanaman
transgenik merupakan teknologi
alternatif yang dapat dipakai dalam peningkatan hasil tanaman. Meskipun
terdapat kontroversi tentang tanaman transgenik , area tanaman transgenik
secara global terus meningkat. Teknologi tanaman transgenik merupakan kegiatan
yang memerlukan dana besar, tenaga peneliti berkualitas, serta fasilitas yang
mahal sehingga selayaknya kegiatan ini diprogramkan dengan sebaik-baiknya.
Secara teknis, teknologi tanaman transgenik memerlukan kerja sama beberapa
peneliti dengan disiplin ilmu yang berbeda, antara lain entomologi, kultur
jaringan, biologi molekuler, dan pemuliaan tanaman.
Teknologi tanaman
transgenik berkembang pesat setelah adanya laporan pertama kali tentang
teknologi tanaman transgenik pada tahun 1984 (Horsch etal. 1984).
Teknologi tanaman transgenic merupakan salah satu bidang yang mendapat
perhatian besar dalam perbaikan tanaman. Teknologi tanaman transgenik umumnya
mempergunakan gen dari Bacillus thuringiensis (Bt). Pada tahun
1995, tanaman transgenik pertama mulai tersedia bagi petani di Amerika Serikat,
yaitu jagung hibrida yang mengandung gen cry IA(b), Maximizer, yang
dibuat oleh Novartis, tanaman kapas yang mengandung gen cry IA(c), Bollgard,
dan kentang yang mengandung gen cry 3A, Newleaf, yang dibuat
oleh Monsanto. Pada tahun 1996, luas area pertanaman jagung transgenic hanya
158 ha, namun pada tahun 1997 dan 1998 luas area ini meningkat masingmasing
menjadi 1,20−1,60 juta hektar dan 6,70 juta hektar (Matten 1998). Sampai dengan
tahun 1998, lebih dari 10 jenis tanaman telah berhasil ditransformasi untuk
mendapatkan tanaman transgenic yang unggul. Tanaman tersebut meliputi tembakau,
tomat, kentang, kapas, padi, jagung, popular, whitespruce, kacang garden
pea, kacang hijau, stroberi, dan kanola (Schuler et al. 1998).
Penanaman tanaman transgenic yang mengandung gen Bt dapat mengurangi penggunaan
pestisida secara nyata. Di Amerika Serikat, penggunaan insektisida mencapai
US$8,11 miliar per tahun, 30% di antaranya diaplikasikan pada tanaman sayuran
dan buah-buahan, 23% pada kapas, dan 15% pada padi. Dari US$8,11 miliar ini,
sekitar US$2,69 miliar dapat dihemat dengan penggunaan tanam Dengan aplikasi
teknologi tanaman transgenik, biaya yang dapat dihemat mencapai US$1,20 miliar.
Meskipun ada pro dan kontra terhadap tanaman transgenik, area tanaman
transgenik meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, area tanaman
transgenik mencapai 8,30 juta hektar (James 1998; 2000). Tanaman transgenic ini
tidak hanya ditanam di negara-negara maju, namun juga di beberapa negara
berkembang seperti Argentina, Cina, Meksiko, dan Indonesia. Untuk kapas Bt,
luas pertanaman secara global meningkat dari 3,70 juta hektar pada tahun 1999
menjadi 5,30 juta hektar pada tahun 2000 (James 2000). Di Amerika Serikat,
keuntungan yang diperoleh petani kapas dengan menanam kapas Bt mencapai US$70/ha
pada tahun 1997 (Krattiger 1997). Di Indonesia, pada tahun 2000 telah dicoba
menanam kapas transgenik Bollgard di Sulawesi Selatan seluas 5.000 ha.
Menurut Makkarasang (2001), keuntungan yang diperoleh petani kapas di Sulawesi
Selatan mencapai Rp3−4 juta/ha/musim tanam.
Voloudakis et
al. (2002) menyebutkan bahwa gen-gen yang berkorelasi dengan ketahanan terhadap
kekeringan pada kapas antara lain adalah 1) trehalose-6-P synthase, 2)
Heat-shock protein cadmodulin-binding (HSPBC) homolog, 3) late embryogenesis
abundant (Lea) 14A dan 5D, 4) NAD(P)H oxydase, dan 5) ubiquitin. Aksesiaksesi
kapas yang toleran terhadap kekeringan, selain menunjukkan ekspresi dari
gen-gen tersebut di atas maka secara fisiologi dan morfologi menunjukkan
karakter-karakter resistensi stomata dan potensial air yang tinggi, serta total
luas daun yang rendah. Adapun karakter tanaman lain yang berkaitan dengan
ketahanan terhadap kekeringan secara berkala antara lain adalah penyesuaian
tekanan osmotic pada akar dan tunas, efisiensi transpirasi, kedalaman dan
kerapatan akar, akumulasi asam absisik dan prolin, status air letal tanaman
yang rendah, dan sensitivitas terhadap fotoperiodisitas (Ludlow and Muchow,
1990, Turner et al., 2001). Lebih lanjut Edmeades et al. (2001) menyebutkan
bahwa peningkatan ekspresi gen yang menghasilkan antioksidan misalnya
superoxide dismustase (SOD), dan gen yang menghasilkan protektan misalnya
glycinebe-thaine juga berperanan dalam peningkatan ketahanan tanaman terhadap
kekeringan.
Pemanfaatan teknologi
transgenik resisten hama umumnya mempergunakan gen dari Bacillus
thuringiensis (Bt). Pada tahun 1995, tanaman transgenik pertama
mulai tersedia bagi petani di Amerika Serikat, yaitu jagung hibrida yang
mengandung gen cry IA(b), Maximizer, yang dibuat oleh Novartis,
tanaman kapas yang mengandung gen cry IA(c), Bollgard, dan
kentang yang mengandung gen cry 3A, Newleaf, yang dibuat oleh
Monsanto. Pada tahun 1996, luas area pertanaman jagung transgenic hanya 158 ha,
namun pada tahun 1997 dan 1998 luas area ini meningkat masingmasing menjadi
1,20−1,60 juta hektar dan 6,70 juta hektar (Matten 1998). Sampai dengan tahun
1998, lebih dari 10 jenis tanaman telah berhasil ditransformasi untuk
mendapatkan tanaman transgenic tahan hama. Tanaman tersebut meliputi tembakau,
tomat, kentang, kapas, padi, jagung, popular, whitespruce, kacang garden
pea, kacang hijau, stroberi, dan kanola (Schuler et al. 1998).
0 komentar "Bioteknologi Tanaman", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar
Kita adalah penjelajah,,tinggalkanlah jejak anda dimanapun anda kunjungi.
semoga bermanfaat