Zakat Dan Peranannya Dalam Krisis



1.      PENDAHULUAN
Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Sholat, sehingga merupakan ajaran yang sangat penting bagi kaum muslimin.Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat faham tentang kewajiban sholat dan manfaatnya dalam membentuk kesholehan pribadi.Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial.Implikasi keshalehan sosial ini sangat luas,kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut.Pemahaman sholat sudah merata dikalangan kaum muslimin ,namun belum demikian terhadap zakat.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam,ajaran zakat sudah mulai dilupakan dan disempitkan artinya. Zakat seolah-olah hanya merupakan kewajiban individu dan dilaksanakan dalam rangka menggugurkan kewajiban individu terhadap perintah Allah ini.Sehingga zakat menjadi apa yang sering disebut sebagai ibadah mahzhah individu kaum muslimin.Dari suatu ajaran yang luas dan mendalam yang dikembangkan oleh Rasul dan Sahabat di Madinah,zakat menjadi sebuah ajaran yang sempit bersama mundurnya peranan Islam di panggung politik,ekonomi,ilmu,dan peradaban manusia.
Dalam akhir abad kedua puluh ini, bersamaan dengan kebangkitan kembali umat Islam diberbagai sektor kehidupan, ajaran zakat juga menjadi salah satu sektor yang mulai digali dari berbagai dimensinya. Meningkatnya kesejahteraan ummat Islam memberikan harapan baru dalam mengaktualisasikan zakat. Apalagi kebangkitan ekonomi di dunia barat khususnya yang didasari pemikiran kapitalistik telah menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan ini seperti;kesenjangan dalam kehidupan sosial ekonomi.
Tidak terkecuali Indonesia juga mengalami booming ekonomi,namun sekarang hancur lebur.Akibat dari itu mengakibatkan multi krisis yang berkepanjangan hingga hari ini.Pemerintah tidak mampu menggerakkan ekonomi makro dan ekonomi mikro alhamdulillah masih berjalan walaupun tidak seperti masa tak krisis dulu. Disaat krisis seperti ini masyarakat masih mampu memberikan sebagian hartanya melalui zakat,infaq dan shodaqohnya untuk meringankan penderitaan saudaranya yang lain,baik yang di daerah krisis, bencana, konflik, dan daerah yang lain. Melihat potensi dana masyarakat yang disalurkan dalam wujud ZIS ini,maka pemerintah melalui Depag dan Depkes memobilisir dana- dana sosial keagamaan dalam rangka membantu ibu dan anak yang rawan terkena penyakit.

2.      DEFINISI ZAKAT
Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah berfirman disurat At-Taubah ayat 103, artinya: "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka". Surat Al-Baqaraah 276, artinya: "Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah". Disebutkan dalam hadist Rasulullah saw yang diriwatkan Bukhari dan Muslim, ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore:
Artinya: "Ya Allah berilah orang berinfak gantinya". Dan berkata yang lain: "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak kehancuran". Sedangkan menurut terminology Syari'ah zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu.
Keterangan definisi : Kewajiban atas sejumlah harta tertentu, berarti zakat adalah kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban tersebut terkena kepada setiap muslim (baligh atau belum, berakal atau gila) ketika mereka memiliki sejumlah harta yang sudah memenuhi batas nisabnya. Kelompok tertentu adalah mustakihin yang terangkum dalam 8 asnhaf. Waktu untuk mengeluarkan zakat adalah ketika sudah berlalu setahun (haul) untuk zakat emas, perak, perdagangan dll, ketika panen untuk hasil tanaman, ketika memperolehnya untuk rikaz dan ketika bulan Ramadhan sampai sebelum shalat 'Iid untuk zakat fitrah.

3.      LANDASAN KEWAJIBAN ZAKAT
Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua Hijriyah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat Fitrah. Ayat-ayat zakat, shodaqah dan infaq yang turun di Makkah baru berupa anjuran dan penyampaiannya menggunakan metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan cacian atau teguran bagi yang meninggalkannya. Zakat tidak diwajibkan kepada semua nabi dan rasul, karena zakat berfungsi sebagai alat pembersih kotoran dan dosa, sedangkan para nabi dan rasul terbebas dari dosa dan kemaksiatan karena mereka mendapat jaminan penjagaan dari Allah swt. Disamping itu kekayaan yang ada ditangan para nabi adalah titipan dan amanah Allah swt yang tidak dapat diwariskan.

Landasan kewajiban zakat disebutkan dalam Al Qur'an, Sunnah dan Ijma Ulama.
a.       AL QUR'AN
Ø  Surat Al-Baqaraah ayat 43: Artinya: "Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama dengan orang-orang yang ruku'".
Ø  Surat At-Taubah ayat 103: Artinya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka karena sesungguhnya do'amu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Ø  Surat Al An'aam ayat 141: Artinya: "Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya (kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)".
b.      SUNNAH
Ø  Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar: Artinya: "Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan".
Ø  Hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih".
c.       IJMA
Ulama baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah sepakat akan kewajiban zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.

4.         PERBEDAAN ANTARA ZAKAT, INFAK DAN SHODAQOH
Dalam penjelasan tentang makna terminologis dari zakat, kita telah mengetahui bahwa zakat adalah kewajiban harta yang spesifik, memiliki syarat tertentu, alokasi tertentu dan waktu tertentu. Adapun infak yaitu mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat. Infak ada yang wajib ada yang sunnah. Infak wajib diantaranya kafarat, nadzar, zakat dll. Infak sunnah diantaranya infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam dll. Adapun shodaqoh maknanya lebih luas dari zakat dan infak. Shodaqoh dapat bermakna infak, zakat dan kebaikan non materi. Dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah saw memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershodaqoh dengan hartanya, beliau bersabda:
"Setiap tasbih adalah shodaqoh, setiap takbir shodaqoh, setiap tahmid shodaqoh, setiap tahlil shodaqoh, amar ma'ruf shodaqoh, nahi munkar shodaqoh dan menyalurkan syahwatnya pada istri juga shodaqoh".
Shodaqoh adalah ungkapan kejujuran (shidq) iman seseorang. Oleh karena itu Allah swt menggabungkan antara orang yang memberi harta dijalan Allah dengan orang yang membenarkan adanya pahala yang terbaik. Antara yang bakhil dengan orang yang mendustakan. Disebutkan dalam surat Al-Lail ayat 5-10 artinya: "Adapun orang yang memberikan (hartanya dijalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami menyiapkan baginya (jalan) yang sukar".

5.         SYARAT HARTA YANG WAJIB DIZAKATI
Harta yang akan dikeluarkan zakatnya harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
a.    Harta yang Halal dan Baik
Allah swt berfirman dalam surat Al-Baqaraah ayat 267, artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Disebutkan dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Allah tidak menerima zakat dari harta yang tidak sah"
b.   Harta Produktif (Nama')
Harta produktif adalah harta yang berkembang baik secara konkrit atau tidak. Secara konkrit dengan melalui pengembangan usaha, perdagangan, saham dll. Melalui tangan sendiri atau orang lain. Sedangkan tidak konkrit yaitu harta tersebut berpotensi untuk berkembang. Hal ini sesuai makna zakat itu sendiri yang berarti berkembang. Harta yang tidak berkembang dan tidak berpotensi untuk dikembangkan tidak wajib dikenai zakat, sesuai dengan hadist Rasulullah saw riwayat Muslim: Artinya: "Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda dan budaknya".
c.    Milik Penuh dan Berkuasa Menggunakannya
Pada hakekatnya kepemilikan mutlak pada harta adalah Allah swt, tetapi Allah swt memberikan hak kepemilikan harta kepada manusia secara terbatas. Harta yang dimiliki manusia secara penuh maksudnya bahwa manusia ia berkuasa memiliki dan memanfaatkannya secara penuh. Pemilikan dan pemanfaatan harta harus sesuai dengan aturan-aturan Islam.
d.   Mencapai Nishab (Standar Minimal Harta yang dikenakan zakat)
Kekayaan yang belum mencapai nishab tidak terkenak kewajiban zakat. Karena ketika seseorang belum memiliki kekayaan yang mencapai nishab, berarti masih masuk kategori miskin dan berhak mendapat zakat. Sedangkan ketika kekayaan mencapai nishab berarti sudah dapat mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dalam waktu satu tahun. Sehingga ketika dikenakan zakat tidak akan membahayakan dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Tidak wajib zakat kecuali orang kaya" (HR Bukhari, mualaq dan Ahmad, mausul)
e.    Surplus dari Kebutuhan Primer dan Terbebas dari Hutang
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, apakah harta yang dikeluarkan zakatnya harta penghasilan bersih seltelah dikurangi kebutuhan primer, ataukah harta penghasilan kotor? Disisi lain kebutuhan primer setiap orang bersifar relatif dan tidak terukur, sehingga jika syarat surplus dari kebutuhan primer diberlakukan dapat dipastikan banyak yang tidak membayar zakat, walaupun sudah memiliki harta melebihi nishabnya.
Ulama madzhab Hanafi menentukan bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya adalah harta yang bersih setelah dikurangi kebutuhan rutin. Alasan ini cukup kuat, karena zakat diwajibkan bagi orang kaya sesuai hadist, "tidak wajib bayar zakat kecuali orang kaya". Manakala pendapatan seseorang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian diri dan keluarganya berarti dia tidak termasuk orang kaya, kecuali jika setelah kebutuhan keluarganya terpenuhi masih memiliki kelebihan yang mencapai nishab, berarti ia wajib bayar zakat. Hal ini juga dikuatkan oleh ayat Al-Qur'an surat Al-Baqaraah 219, artinya: "Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah "Yang lebih dari keperluan". Menurut Ibnu Abbas 'sesuatu yang lebih' adalah 'sesuatu yang lebih dari kebutuhan keluarga'.
Zakat juga hanya dikenakan jika terbebas dari hutang. Karena hutang merupakan beban yang harus ditunaikan. Walaupun seseorang memiliki banyak kekayaan tetapi jika memiliki banyak hutang maka tidak termasuk orang kaya yang harus membayar zakat, apalagi jika hutangnya lebih besar dari kekayaan. Dan dalam Islam, seseorang yang memiliki banyak hutang disebut ghariim yang berhak menerima zakat. Jika melihat fenomena sekarang dimana mayoritas manusia memiliki hutang, maka terdapat pendapat yang baik dana patut dipertimbangkan, yaitu hutang yang terbebas dari zakat adalah hutang yang jatuh tempo.
f.    Haul (Sudah Berlalu Setahun)
Disebutkan dalam hadist riwayat Abu Dawud: Artinya: "Tidak wajib membayar zakat sampai sudah berlalu satu tahun" Ulama tabi'in dan fuqoha sepakat tentang ketentuan haul pada beberapa harta yang wajib dizakati seperti emas, perak, perdagangan, hewan dll. Dan haul tidak berlaku pada zakat pertanian, rikaz, barang tambang dll. Untuk hasil pertanian disebutkan dalam surat Al An'aam aya 141, artinya: "Dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilmu (dengan dikeluarkan zakatnya)".

6.         MACAM-MACAM HARTA YANG WAJIB DIZAKATI
Dalam buku-buku Fiqh, harta-harta yang wajib dizakati terdiri dari dua macam yaitu Zakat Harta dan Zakat Fitrah. Kemudian Zakat Harta dibagi lagi menjadi beberapa sub bagian sbb:
a.       Zakat Emas, Perak dan Perhiasan
b.      Zakat Hewan dan Produk Hewani
c.       Zakat Pertanian dan Hasil Bumi
d.      Zakat Barang Perdagangan
e.       Zakat Rikaz dan Barang Tambang

7.         ZAKAT DAN PAJAK
Banyak orang berusaha menyamakan antara zakat dan pajak, sehingga konsekwensinya ketika seseorang sudah membayar pajak maka gugurlah pembayaran zakatnya. Sementara sebagian lain menolak bahwa zakat sama dengan pajak atau sebagai alternatif dari kewajiban zakat. Zakat dan pajak adalah dua pungutan wajib yang memiliki karakteristik berbeda. Jika dilihat secara cermat memang ada persamaan antara zakat dan pajak, tetapi disisi lain banyak juga perbedaannya.
Persamaan antara Zakat dan Pajak:
a.       Bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi.
b.      Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola oleh negara.
c.       Tidak ada ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu didunia.
d.      Dari sisi tujuan ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.
Perbedaan antara Zakat dan Pajak
Perbedaan
Zakat
Pajak
Keterangan
Nama Berarti
bersih, bertambah dan berkembang
Utang, pajak, upeti
Seseorang yang membayar zakat hartanya menjadi bersih dan berkah tidak demikian dengan pajak
Dasar Hukum
Al Qur'an dan As Sunnah
Undang-undang suatu negara
Pembayaran zakat bernilai ibadah dan pendekatan diri kepada Allah sedangkan dalam membayar pajak hanya melaksanakan kewajiban warga negara
Nishab dan Tarif
Ditentukan Allah dan bersifat mutlak
Ditentukan oleh negara dan yang bersifat relatif Nishab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan pajak berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran negara
Sifat
Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus
Kewajiban sesuai dengan kebutuhan dan dapat dihapuskan
Subyek
Muslim
Semua warga negara
Obyek Alokasi Penerima
Tetap 8 Golongan
Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin
Harta yang Dikenakan
Harta produktif
Semua Harta
Syarat Ijab Kabul
Disyaratkan
Tidak Disyaratkan
Imbalan
Pahala dari Allah dan janji keberkahan harta
Tersedianya barang dan jasa publik
Sanksi
Dari Allah dan pemerintah Islam
Dari Negara
Motivasi Pembayaran
Keimanan dan ketakwaan kepada Allah Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya
ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada zakat
Perhitungan
Dipercayakan kepada Muzaki dan dapat juga dengan bantuan Selalu menggunakan jasa akuntan pajak





8.      PEMBAYARAN PAJAK
Pembayaran pajak dapat dibenarkan dalam Syari'at Islam karena memiliki beberapa konsideran:
a.       Solidaritas sosial dan tolong menolong sesama muslim dan sesama umat manusia merupakan kewajiban. Allah berfirman dalam surat Al_maidah ayat 2, artinya: "Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".
b.      Sasaran zakat terbatas sedangkan kebutuhan negara tidak terbatas. Para ahli fiqh tidak boleh mercampur adukkan harta zakat dengan pajak. Berkata Abu Yusuf: "Tidaklah layak kiranya harta kharaj (pajak bumi) digabungkan dengan harta zakat, karena harta kharaj adalah harta rampasan untuk seluruh kamu muslimin, sedangkan harta zakat diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Para ulama berkata: "Zakat tidak boleh digunakan untuk membangun jembatan, perbaikan jalan, membuat sungai, pembuatan masjid, sekolah, pengairan dan bendungan".
c.       Kaidah-kaidah Umum Hukum Syara'. Banyak sekali kaidah yang dapat dipakai untuk melegalisasi pembayaran pajak, diantaranya Maslahah Mursalah.
d.      Kebutuhan untuk biaya jihad dengan segala kaitannya.
e.       Kerugian dibayar dengan keuntungan.
Ketika umat Islam membayar pajak, dia dapat merasakan hasil pajak tersebut lewat pembangunan dan keamanan. Agar pembayaran pajak dan zakat dapat berjalan dengan baik maka perlu adanya sinkronisasi pembayaran keduanya. Misalnya ketika seseorang sudah membayar zakat, maka beban pembayaran pajaknya dikurangi sebesar zakat yang telah dikeluarkan agar tidak terjadi kedholiman pada wajib zakat atau wajib pajak.
Selanjutnya ulama modern memasukkan atau menganalogikan beberapa bentuk zakat yang belum dikenal pada saat itu. Diantara bentuk zakat yang popular sekarang adalah: Zakat Uang, Zakat Profesi, Zakat Investasi dan Saham, Zakat Hadiah, Zakat Perusahaan dll. Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan pokok-pokok zakat yang sudah disepakati ulama, kemudian memasukkan atau menganalogikan bentuk-bentuk zakat yang popular dimasa sekarang dengan bentuk zakat yang sudah baku dan disepakati ulama, di dalam UU Pajak No. 17 Th. 2000, Pasal 9 huruf g dinyatakan bahwa zakat yang dibayarkan pada BAZ atau LAZ yang sah (yang terdaftar di dinas terkait) dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak.
Zakat yang dibayarkan dihitung sesuai dengan ketentuan syari'ah di atas yang selanjutnya dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Misalnya nilai harta perusahaan yang kena zakat adalah 100 juta, maka zakatnya adalah 2,5 juta, kemudian nilai tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak.
9.      UU PENGELOLAAN ZAKAT DAN UU PAJAK
Benda-benda yang harus dikeluarkan zakatnya secara eksplisit dikemukan dalam UU pengelolaan zakat Bab IV tentang pengumpulan zakat pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa zakat terdiri atas zakat maal dan fitrah.
Pada ayat (2) dikemukan bahwa harta yang dikenai adalah:
a.      Emas, perak dan uang
b.      Perdagangan dan perusahaan
c.       Hasil Pertanian, hasil perkebunan dan hasil perikanan
d.      Hasil pertambangan
e.      Hasil Perternakan
f.        Hasil pendapatan dan jasa
g.      Rikaz
Ayat (3) Penghitungan zakat maal menurut nishab, kadar, dan waktu ditetapkan berdasarkan hukum agama (Syariat Islam) Dalam Undang-undang Pajak yaitu No. 17 tahun 2000 dikemukan dalam pasal 9 ayat (1) bahwa untuk dalam undang-undang Pajak yaitu No. 17 tahun 200 dikemukan dalam pasal 9 ayat (1) bahwa untuk: g. Harta yang dihibahkan bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah. Diktum tersebut secara jelas menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan kepada BAZ dan LAZ yang sah menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Zakat yang dibayarkan hendaknya benar-benar sesuai dengan ketentuan syari'ah seperti di atas. kemudian nilai tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak. Karena itu, Agar perhitungan tersebut sesuai dengan syari'ah Islam Perlu ada peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya.
Manfaat zakat dalam penyelesaian krisis:
1.      Manfaat Zakat Sebagai Tatanan Kehidupan Sosial
Dalam berbagai kesempatan seringkali dibicarakan tentang beberapa kisah yang terjadi pada masa Rasulullah. Boleh jadi sebagian dari kita sudah hafal isi kisah tersebut namun kesibukan sehari-hari membuat kita sejenak terlupa, boleh jadi sebagian dari kita sudah paham betul esensi dari kisah yang akan disampaikan di bawah ini, namun tak ada salahnya untuk sedikit merenungi kembali kisah-kisah ini dan berkaca ke lubuk hati kita. Di bagian lain kita akan lihat sejumlah ayat Qur'an yang berkenaan dengan tema utama kita kali ini.
Kita terbang lima belas abad kebelakang. Di suatu tempat terlihat Rasulullah saw berkumpul bersama para sahabatnya yang kebanyakan orang miskin. Sekedar menyebut beberapa nama sahabat yang hampir semuanya bekas budak, yaitu Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Pakaian mereka lusuh, berupa jubah bulu yang kasar. Tetapi mereka adalah sahabat senior Nabi, para perintis perjuangan Islam.
Serombongan bangsawan yang baru masuk islam datang ke majelis Nabi. Ketika melihat orang-orang di sekitar Nabi, mereka mencibir dan menunjukkan kebenciannya. Mereka berkata kepada Nabi, "Kami mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis khusus bagi kami. Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai kabilah arab akan datang menemuimu. Kami malu kalau mereka melihat kami duduk dengan budak-budak ini. Apabila kami datang menemui Anda, jauhkanlah mereka dari kami. Apabila urusan kami sudah selesai, bolehlah anda duduk bersama mereka sesuka Anda.
Uyainah bin Hishn menegaskan lagi, Bau Salman al-Farisi mengangguku (Ia menyindir bau jubah bulu yang dipakai sahabat nabi yang miskin). Buatlah majelis khusus bagi kami sehingga kami tidak berkumpulbersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami. Tiba-tiba turunlah malaikat jibril menyampaikan surat al-An'am [6] ayat 52: "Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu,yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasukorang-orang yang zalim.
Nabi saw segera menyuruh kaum fukara duduk lebih dekat lagi sehingga lutut-lutut mereka merapat dengan lutut Rasulullah saw. "Salam 'Alaikum," kata Nabi dengan keras, seakan-akan memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy. Setelah itu, turun lagi surat al-Kahfi [18] ayat 28: "Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas."
Sejak itu, apabila kaum fukara ini berkumpul bersama Nabi, beliau tidak meninggalkan tempat sebelum orang-orang miskin itu pergi. Apabila beliau masuk ke majelis, beliau memilih duduk dalam kelompok mereka. Seringkali beliau berkata, "Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya.
Sekarang bukalah cermin di hati kita. Tariklah nafas sejenak untuk berkaca ke dalam cermin itu. Apakah kita seperti pembesar Quraisy yang terganggu dengan bau tubuh orang miskin. Apabila tamu datang, kota kita bersihkan dan mereka, kaum fukara, dipinggirkan. Kota baru gemerlap bila mereka disingkirkan. Pemandangan baru indah bila rumah-rumah kumuh digusur. Ah...betapa perilaku kita lebih menyerupai pembesar quraisy daripada perilaku Nabi Yang Mulia.
Dalam kesempatan lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat, Sa'ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang melepuh karena kerja keras. Nabi bertanya, "mengapa tanganmu hitam, kasar dan melepuh?" Sa'ad menjawab, "tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku." Nabi yang mulia berkata, "ini tangan yang dicintai Allah," seraya mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para sahabat, kini mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh.
Bukalah cermin hati kita lagi. Turunlah kita ke bawah. Tengoklah jutaan tangan yang hitam dan melepuh menunggu uluran kasih sayang kita. Setelah Nabi, adakah di antara kita yang mau mencium tangan orang miskin? Bukankah dengan status yang kita miliki, gelar akademik yang kita raih, kesejahteraan yang kita nikmati, kita merasa jauh lebih pantas bila orang miskin mencium tangan kita. Kalau hati terasa berat, andaikata kultur tak mengizinkan kita berbuat hal itu, manakala ego terasa meningkat, bukankah paling tidak kita ganti rasa hormat yang seharusnya kita berikan dengan kasih sayang pada mereka. Bila Nabi mau mencium tangan mereka, maukah kita untuk paling tidak menyisihkan sebagian rezeki yang kita peroleh sebagai rasa sayang kita pada mereka.
Di atas kita telah mengutip sejumlah kisah dalam hidup Nabi. Bukankah sebagai ummatnya kita telah berikrar untuk menjadikan segala perilaku beliau sebagai contoh teladan (uswatun hasanah). Untuk menguatkan bahwa Islam sangat menonjolkan kepedulian sosial, mari kita buka Al-Qur'an. Bukankah Al-Qur'an adalah rujukan kita yang pertama dalam hidup ini.
1.      Surat al-Balad [90] ayat 10 -18
"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Maka tidakkah sebaiknya (denganhartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalanyang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberiMAKAN pada hari kelaparan (kepada) anak YATIM yang ada hubungan kerabat, atauorang MISKIN yang sangat fakir. Dan dia termasuk orang-orang beriman dan salingberpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayangMereka (orang-orangyang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa ada dua jalan yang bisa kita pakai dalam memanfaatkan harta kita. Al-Qur'an menyarankan kita untuk mengambil jalan yang sukar dan mendaki, yaitu memerdekakan budak atau memberi makan pada anak yatim atau orang miskin. Allah tidak menjelaskan tentang jalan yang mudah, melainkan memberi contoh jalan yang sukar. Mengapa disebut jalan yang sukar? karena kebanyakan manusia enggan atau merasa berat atau merasa sukar untuk melakukannya. Bila kita mampu mengalahkan rasa berat dan rasa sukar pada diri kita dalam beramal, maka Allah menjanjikan kita termasuk golongan yang kanan; ahli surga. Bukalah cermin hati kita sekali lagi. Apakah kita merasa sukar untuk beramal pada orang miskin dan anak yatim? Hanya cermin hati yang teramat dalam yang mampu menjawabnya dengan jujur.



2.      Surat al-Ma'arij [70] ayat 19-25
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi KIKIR, Apabila ia ditimpakesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecualiorang-orang yang mengerjakan SHALAT, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,dan orang-orang yang dalam HARTAnya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yangmeminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). Secara tegas Allah menyebutkan bahwa keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat bawaan manusia sejak ia diciptakan. Allah melukiskan sifat manusia dengan sangat baik. Bagi saya pribadi, ayat di atas telah menelanjangi sifat kita. Bukankah kalau kita tidak memiliki harta kita sering berkeluh kesah, sebaliknya, kalau memiliki banyak harta kita cenderung untuk kikir. Lalu bagaimana caranya agar sifat bawaan (keluh kesah & kikir) kita tersebut tidak menjelma atau dapat kita padamkan.
Allah menyebutkan, paling tidak, dua jalan. Pertama, mengerjakan sembahyang secara kontinu. Kedua, menyadari bahwa dalam harta yang kita miliki terkandung bagian tertentu untuk fakir miskin. Dua resep ini insya Allah akan mampu memadamkan sifat keluh kesah dan sifat kikir yang kita miliki. Sekali lagi, bukalah cermin hati kita. Tahanlah nafas kita untuk sejenak. Tidakkah kita rasakan bagaimana Allah menyinggung perilaku buruk kita dalam ayat-ayat-Nya yang suci.
3.      Surat al-Qalam [68] ayat 17-33
"Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekkah) sebagaimana Kami telahmenguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa merekasungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan :insya Allah. Lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur,maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka panggilmemanggil di pagi hari "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya." Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu." Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niatmenghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (meonolongnya), Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: "Sesungguhnya kita benar-benaroarng-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya).
Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: "Bukankah aku telahmengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu). Mereka mengucapkan: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orangyang zalim. Lalu sebagian mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela mencela Merekaberkata: "Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yangmelampaui batas.Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan(kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dariTuhan kita. Seperti itulah azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika merekamengetahui.
Sekelompok ayat di atas menceritakan sebuah kisah nyata yang terjadi sebelum masa Rasulullah. Kisah pemilik kebun di atas melukiskan dengan sangat baik betapa harta manusia itu tak ada artinya dibandingkekuasaan Allah. Kebun yang sudah sekian lama diurus dan tinggal sekejap mata saja untuk dipetik hasilnya menjadi musnah terbakar. Apa kesalahan pemilik kebun tersebut sehingga mendapat azab sedemikian rupa. Pertama, mereka lupa bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Ini dilukiskan dalamayat di atas ketika mereka tidak menyebut insya Allah; mereka merasa pasti akan meraih hasil yang luar biasa. Mereka lupa bahwa sedetik kedepan kita tak tahu apa yang terjadi dengan hidup kita. Kita tak tahu "skenario" Allah terhadap diri kita.
Kedua, mereka bersifat kikir. Mereka sudah bersiap-siap agar orang miskin tak bisa masuk ke kebun mereka saat panen tiba. Allah murka pada mereka. Allah turunkan azab-Nya pada mereka. Di akhir ayat Allah mengingatkan bahwa azab yang Allah timpakan pada pemilik kebun hanyalah azab dunia; sedangkan azab akherat jauh lebih besar lagi. Cermin hati kita mengatakan bahwa agar tidak tertimpa azab Allah di dunia, manakala kita memiliki kelebihan rezeki maka janganlah sungkan untuk memberi sebagian pada orang miskin. Cermin hati telah berkata, mampukah kita melaksanakan kata-hati kita.
Kalau Allah mampu memusnahkan dengan amat mudah kebun yang siap dipanen, jangan-jangan Allah pun akan memusnahkan sumber penghasilan kita, bila kita berlaku kikir! Na'udzu billah. Demikianlah sekedar pengantar untuk pengajian kita; sekedar saling ingat mengingatkan bahwa di cermin hati kita telah tergambar sejumlah orang yang membutuhkan kepedulian kita. Persoalannya, maukah kita melihat ke dalam cermin tersebut.


2.      Zakat Sebagai Landasan Sistem Perekonomian Islam
Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang punggungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah adalah pemilik asal, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan, hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah pencerminan dari semua itu. Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan Allah di dalam pemilikan. Disamping itu, dalam harta yang kita miliki, masih ada hak-hak lain diluar zakat. Dalam sebuah hadits dikatakan : "Sesungguhnya di dalam harta itu ada hak selain zakat". Tetapi zakat merupakan hak terpenting di dalam harta. Karena itu ia menjadi penyerahan total kepada Allah dalam persoalan harta. Sabda Nabi Muhammad SAW: "Zakat adalah bukti (penyerahan)".
Dalam masalah modal, Islam memiliki prinsip-prinsip tertentu, antara lain: Penumpukan dan pembekuan harta adalah tindakan tidak benar dalam masalah harta. Harta harus dikembangkan dan zakat merupakan pengejawantahan dalam masalah ini. Sebab, modal yang tidak dikembangkan, pemilik tetap berkewajiban membayar zakat. Berarti dia harus mengurangi bagian modal itu setiap tahunnya. Akhirnya akan mengakibatkan semakin menipisnya modal. Misalnya, seorang memiliki uang lima juta rupiah yang tidak dikembangkan. Dia akan membayar zakat uang tersebut setiap tahunnya sebanyak 2.5 %. Dalam beberapa tahun harta yang lima juta rupiah tersebut, kecuali nishab, pasti akan habis seluruhnya. Karena itu, pemilik modal terpaksa harus mengembangkan hartanya bila ingin menjaga modal agar tidak habis. Sehingga zakatnya dibayar dari keuntungan, bukan dari itu sendiri.
Dengan demikian, sistem zakat menjadikan modal selalu dalam perputaran. Dengan ini pula kita dapat memahami firman Allah: "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (Qs. At Taubah:34)" Selama infaq di jalan Allah ditunaikan, atau sekurang-kurangnya dengan membayar zakat, maka penimbunan harta benda itu tidak akan pernah terjadi. Rasulullah SAW bersabda: "Selama kamu tunaikan zakatnya, maka ia bukan timbunan".
Jadi, tidak mungkin terjadi bersama-sama antara penimbunan dengan zakat. Modal, sebagai modal yang tidak dikembangkan, tidak memiliki keuntungan. Tetapi, di dalamnya ada hak orang lain, yaitu penerimaan zakat. Modal, berhak mendapatkaan keuntungan setelah dikembangkan sebagai imbalan atas kesediaannya menanggung kerugian. Misalnya, dalam satu syarikat mudharabah (usaha bagi hasil) pemilik modal berhak mendapat keuntungan sebagai imbalan kesediaan modal tersebut menanggung kerugian, bila terjadi kerugian. Ini menunjukan perbedaan pokok dalam memandang persoalan harta sebagai modal antara Kapitalisme dan Komunisme di satu pihak dengan sistem Islam di pihak lain.
Islam telah meletakan masalah ini secara proporsional dan adil melalui semua institusi yang ada terutama melalui instansi zakat (lembaga pengelola zakat). Harta menurut Islam, kalau dikembangkan ada hak mendapatkan keuntungan sebagai imbalan atas kesediannya menanggung resiko rugi. Pemilik modal berhak memperoleh keuntungan sebagai imbalan pengelolaan dan kesediaannya menanggung resiko kerugian. Kepada pemilik modal diwajibkan membayar zakat setiap tahun, bukan saja dari keuntungan, tetapi juga dari modal itu sendiri. Dengan demikian, 'kelebihan nilai' yang digambarkan Karl Marx tidak akan kembali kepada pemilik modal, kecuali dalam jumlah kecil yang menjadi haknya. Selebihnya akan kembali kepada berbagai tingkatan masyarakat yang berhak menerimanya sebagai upaya mewujudkan Jaminan Sosial yang merupakan kewajiban bagi orang yang mampu (aghniya).

Peran Amilin (Pengelola) Zakat
Zakat bukan persoalan baru. Tetapi, pada waktu yang sama, persoalan tersebut tetap hangat karena senantiasa dibahas dan seolah tak pernah habis dan selesai. Salah satu ciri atau sifat ilmu Islam memang demikian, selalu memberi nuansa baru untuk dikaji dan ditelaah. Zakat adalah sebuah persoalan faridhah sulthaniyah, yaitu suatu kewajiban yang terkait dengan kekuasaan. Karena itu, pelaksanaannya dilakukan oleh amilin 'alaiha (petugas-petugas zakat, QS. 9; 60). Dan amilin, walaupun ada aturan tersendiri dalam masyarakat, surat keputusan asalnya ada dalam Al-Qur'an dan merupakan bagian organik dari Undang-undang Islam secara keseluruhan.
Para amilin pertama-tama berfungsi sebagai pengemban amanah Allah SWT, kemudian ia mewakili Rasulullah SAW sebagai iqamatud dien wa siyasah fid dunya para umara setelah rasulullah, yaitu menegakkan agama dan mengatur kehidupan di dunia. Zakat tentu saja merupakan salah satu tiang dari tiang-tiang agama. Jadi kedua, amilin mengemban amanat untuk mengorganisasikan (mengelola) zakat ini. Dalam hal ini , mereka bertindak sebagai niyabur Rasul (wakil Rasulullah SAW) dalam iqamatud dien. Dan ketiga, amilin adalah wakil dari tatanan tersebut. Dari sisi ini, kita dapat melihat betapa pentingnya posisi amilin.
Apa yang perlu dilengkapi atau dimiliki oleh para amilin? Surat at-Taubah ayat 103 secara mendasar menyebutkan hal apa saja yang perlu diperhatikan para amilin zakat. Allah berfirman, "Ambillah dari harta mereka shadaqah (zakat)." Dari kata-kata ini dapat ditarik kesimpulan adanya al-mubadarah (inisiatif), manajemen, yang berarti amil tidak sekedar menunggu saja datangnya zakat tersebut. Tetapi amilin harus memperlihatkan sikap "Khudz" (ambil) yang dituangkan dalam bentuk sistem perencanaan, strategi dan pengelolaan yang baik. Walaupun otoritas sepenuhnya belum dimiliki (karena otoritas sesungguhnya ada di tangan daulah). Namun inisiatif harus dilakukan.
Dalam rangka inisiatif juga, para amilin membantu para muzakki untuk dapat dengan benar menunaikan zakatnya. Karenanya, para ulama membagi amwal (harta) itu ke dalam dua jenis, yaitu yang tampak atau ditampakkan (zhahir) dan yang tidak tampak (bathin). Harta yang zhahir, misalnya binatang ternak dan tijarah (perdagangan). Binatang ternak dapat dihitung dan tijarah dapat di tampakkan dengan Ilmu akuntansi. Para amilin berkewajiban membantu penghitungan ini. Jadi, tidak hanya percaya saja. Bahkan, kalau perlu mereka membantu membuat teknik penghitungannya (akuntansinya).
Adapun untuk amal yang bathinah, zakatnya diserahkan kepada muzakki, artinya amilin percaya kepadanya tentang seberapa besar hitungan hartanya. Karena agak sukar untuk melacaknya, terutama dalam keterbatasan otoritas amilin. Keterbatasan amilin memang cukup menyulitkan. Ia tidak bisa bertanya atau menyelidiki seberapa jauh kebenaran pembukuan yang dilaporkan muzakki. Untuk kondisi sekarang, sang muzakki mau menyerahkan zakatnya saja seolah-olah sudah merupakan penghargaan, karena kepercayaannya. Meskipun demikian, agaknya bertanya tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi muzakki dalam penghitungan zakatnya, sudah merupakan bentuk mas'uliyah amilin. Mas'uliyah amilin dalam bentuk pengenaan sanksi bagi muzakki yang secara sengaja menggelapkan hartanya, tampaknya belum saatnya menjadi otoritas yang dimiliki amilin saat ini.
Dalam kaitan bunyi ayat "tuthahirhum" (agar dapat membersihkan harta mereka), para amilin membantu muzakki untuk membersihkan harta mereka dari penyakit ruhiyah. Hal ini bisa dilakukan dengan taujih (pengarahan). "Watuzakkihim biha" di sini bermakna pengembangan (tanmiyah) berupa pengembangan harta atau kepribadian muzakki sendiri. Misalkan diusahakan bagaimana zakat ini dapat menyebabkan pengembangan harta (tanmiyatul maal). Para ulama sepakat bahwa proteksi zakat itu pada hakikatnya adalah pengentasan kemiskinan. Untuk sementara, boleh saja digunakan untuk saluran-saluran konsumtif. Namun tidak boleh terus menerus. Oleh karena itu, meskipun berlangsung penggunaan konsumtif, upaya-upaya yang mengarah pada penggunaan usaha-usaha produktif serta pengembangan pemberdayaan perlu direncanakan secara baik.
Amilin (pengelola) harus mempunyai proyeksi jangka panjang. Misalkan ada seseorang yang sebenarnya berhak menerima zakat, padahal saat itu tampak dapat mengendalikan keperluannya sekadarnya. Maka, dapat ditanyakan kepadanya apakah bagian zakatnya dapat dimasukkan ke dalam sektor produktif, misalnya dalam bentuk saham. Dengan Kumpulan saham dari harta zakat para mustahiq ini mungkin dapat diupayakan sebuah usaha yang menguntungkan. Dengan upaya ini diharapkan terjadi pengembangan harta dari para mustahiq, sehingga pada saatnya dia dapat menjadi muzakki. Semua ini perlu perencanaan.
Hal lain yang perlu dilakukan amilin adalah mendo'akan para muzakki baik yang sifatnya rutin harian, bulanan dan tahunan melalui ucapan selamat ulang tahun, hadiah dan sebagainya, sehingga mereka merasa puas dan senang dengan pekerjaan itu. Amilin yang hanya menerima begitu saja akan mengurangi kesakralan momen pemberian zakat, padahal di sana terdapat sebuah peristiwa yang cukup tinggi nilainya. Seseorang yang berada pada kecukupan tenaga berupaya memikirkan pertolongan bagi saudara-saudaranya yang berada dalam kesulitan ekonomi.
Mengupayakan inventarisasi mustahiq merupakan langkah lain yang perlu diperhatikan para amilin. Sebab, terdapat suatu kenyataan adanya fuqara yang tidak menampakkan kesulitannya atau meminta-minta karena sifat 'iffah (menjaga diri)-nya. Sebagaimana digambarkan dalam ayat 273 surat Al-Baqarah: "(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak dapat berusaha di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. "Dan harta apa saja yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah) maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.'
Amilin perlu pengenalan lebih jauh terhadap fuqara atau masakin. Jika ada orang yang berhak dan ternyata dia tidak kebagian zakat, maka hal ini menjadi tanggung jawab amilin karena kurang perhatian. Fuqara yang 'iffah, tidak mungkin mendaftarkan diri kepada amilin untuk dimasukkan sebagai mustahiq. Pengalaman dibeberapa tempat, ketika perencanaan atau manajemen zakat (fitrah) tidak ditangani secara baik akan berdampak negatif. Keterbatasan waktu pembagian menyebabkan amilin akhirnya bekerja secara tergesa-gesa, karena adanya "dead line" pembagian zakat fitrah. Apabila ini terjadi, dapat berakibat kurang selektif dalam pemilihan mustahiq. Yang penting habis terbagi saja. Amilin yang demikian tidak dapat menunaikan tugas sebagaimana mestinya.
Inventarisasi mustahiqin perlu dilakukan sedini mungkin. Bahkan, jika mungkin peta mustahiqin itu sudah dimiliki sejak lama sebelumnya. Hal ini jelas membantu keefektifan pembagian zakat. Efektivitas pembagian zakat dengan demikian sangat ditentukan oleh kemampuan amilin. Tentu tidak diharapkan zakat hanya sebagai suatu rutinitas tanpa disertai perubahan-perubahan dalam tubuh masyarakat. Evaluasi pelaksanaan zakat perlu dilakukan tahun demi tahun, sehingga pelaksanaan tahun ini bisa lebih baik dari pelaksanaan tahun lalu. Kalau terjadi penurunan, maka amilin tidak berfikir maju dan zakat akan sulit menjadi sebuah pemecahaan bagi masalah-masalah ekonomi dalam masyarakat Islam.
Amwalu zakat (harta-harta zakat), pada saat ini memang sudah berkembang sedemikian rupa. Zakat peternakan atau pertanian, misalnya, sudah hampir tidak dikenal lagi di daerah perkotaan yang padat dan kumuh. Amwalu zakat yang akan banyak ditemui di daerah ini adalah zakat kasbul amal (penghasilan) atau tijarah (perdagangan). Amilin perlu menjelaskan tentang hakekat nishab (batas minimal harta yang dimiliki untuk terkena kewajiban mengeluarkan zakat). Hakekat nisab adalah kelebihan seseorang dari hajat asasiyah (kebutuhan dasar) nya. Di sini, sesungguhnya akan berlaku peran ketaqwaan, karena kebutuhan dasar seseorang bisa beragam sekali. Jika seseorang kecenderungan konsumtifnya besar, maka angka kebutuhan dasarnya pun akan besar.
Dan mungkin akan ada orang yang tidak pernah sempat mengeluarkan zakat, karena kebutuhannya yang senantiasa besar dan terus kekurangan, misalnya untuk perumahan, mobil, dan sebagainya. Utang cicilan untuk masa sekarang misalnya sangat banyak ragamnya, yaitu rumah, mobil, alat-alat rumah tangga, dan sebagainya. Maka hal yang terpenting adalah bagaimana upaya menumbuhkan ketaqwaan seseorang sehingga yang dibangkitkan adalah semangat untuk berzakatnya. Bukan pada persoalan hitung menghitung yang dapat mengaburkan niat buruk seseorang dan kewajiban membayar zakat. Oleh karena itu, tuntunan perhitungan zakat perlu diserahkan sehingga tidak membawa kepada muzakki terjebak pada pola hidup yang konsumtif.

Pembatasan-pembatasan perlu dilaksanakan. Keperluan perumahan yang diambil secara cicilan, rumah model manakah yang bisa ditolerir? Apakah model rumah sangat sederhana, sederhana atau rumah besar yang mewah? Kendaran, misalnya kendaraan merk apa dan berapa harganya yang boleh ia cicil dan layak dianggap sebagai kebutuhan pokok? Demikian juga untuk biaya pendidikan, kesehatan dan pengobatan. Pengarahan-pengarahan perlu dilakukan oleh seorang amilin.

0 komentar "Zakat Dan Peranannya Dalam Krisis", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar

Kita adalah penjelajah,,tinggalkanlah jejak anda dimanapun anda kunjungi.
semoga bermanfaat