1.
PENDAHULUAN
Zakat merupakan
rukun Islam yang ketiga setelah Syahadat dan Sholat, sehingga merupakan ajaran
yang sangat penting bagi kaum muslimin.Bila saat ini kaum muslimin sudah sangat
faham tentang kewajiban sholat dan manfaatnya dalam membentuk kesholehan
pribadi.Namun tidak demikian pemahamaannya terhadap kewajiban terhadap zakat
yang berfungsi untuk membentuk keshalehan sosial.Implikasi keshalehan sosial
ini sangat luas,kalau saja kaum muslimin memahami tentang hal tersebut.Pemahaman
sholat sudah merata dikalangan kaum muslimin ,namun belum demikian terhadap
zakat.
Dalam sejarah perjalanan masyarakat Islam,ajaran zakat sudah mulai
dilupakan dan disempitkan artinya. Zakat seolah-olah hanya merupakan kewajiban
individu dan dilaksanakan dalam rangka menggugurkan kewajiban individu terhadap
perintah Allah ini.Sehingga zakat menjadi apa yang sering disebut sebagai
ibadah mahzhah individu kaum muslimin.Dari suatu ajaran yang luas dan mendalam
yang dikembangkan oleh Rasul dan Sahabat di Madinah,zakat menjadi sebuah ajaran
yang sempit bersama mundurnya peranan Islam di panggung
politik,ekonomi,ilmu,dan peradaban manusia.
Dalam akhir abad kedua puluh ini, bersamaan dengan kebangkitan kembali umat
Islam diberbagai sektor kehidupan, ajaran zakat juga menjadi salah satu sektor
yang mulai digali dari berbagai dimensinya. Meningkatnya kesejahteraan ummat
Islam memberikan harapan baru dalam mengaktualisasikan zakat. Apalagi
kebangkitan ekonomi di dunia barat khususnya yang didasari pemikiran
kapitalistik telah menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan ini
seperti;kesenjangan dalam kehidupan sosial ekonomi.
Tidak terkecuali Indonesia juga mengalami booming ekonomi,namun sekarang
hancur lebur.Akibat dari itu mengakibatkan multi krisis yang berkepanjangan
hingga hari ini.Pemerintah tidak mampu menggerakkan ekonomi makro dan ekonomi
mikro alhamdulillah masih berjalan walaupun tidak seperti masa tak krisis dulu. Disaat krisis
seperti ini masyarakat masih mampu memberikan sebagian hartanya melalui
zakat,infaq dan shodaqohnya untuk meringankan penderitaan saudaranya yang
lain,baik yang di daerah krisis, bencana, konflik, dan daerah yang lain.
Melihat potensi dana masyarakat yang disalurkan dalam wujud ZIS ini,maka
pemerintah melalui Depag dan Depkes memobilisir dana- dana sosial keagamaan
dalam rangka membantu ibu dan anak yang rawan terkena penyakit.
2.
DEFINISI ZAKAT
Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Seorang
yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang
banyak. Allah berfirman disurat At-Taubah ayat 103, artinya: "Pungutlah
zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka". Surat Al-Baqaraah 276, artinya: "Allah memusnahkan
riba dan mengembangkan sedekah". Disebutkan dalam hadist Rasulullah saw
yang diriwatkan Bukhari dan Muslim, ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap
pagi dan sore:
Artinya: "Ya Allah berilah orang berinfak gantinya". Dan berkata
yang lain: "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak kehancuran". Sedangkan menurut
terminology Syari'ah zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas
sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu.
Keterangan definisi : Kewajiban atas sejumlah harta tertentu, berarti zakat
adalah kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban
tersebut terkena kepada setiap muslim (baligh atau belum, berakal atau gila)
ketika mereka memiliki sejumlah harta yang sudah memenuhi batas nisabnya. Kelompok
tertentu adalah mustakihin yang terangkum dalam 8 asnhaf. Waktu untuk
mengeluarkan zakat adalah ketika sudah berlalu setahun (haul) untuk zakat emas,
perak, perdagangan dll, ketika panen untuk hasil tanaman, ketika memperolehnya
untuk rikaz dan ketika bulan Ramadhan sampai sebelum shalat 'Iid untuk zakat
fitrah.
3.
LANDASAN KEWAJIBAN ZAKAT
Zakat adalah
rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua
Hijriyah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat Fitrah. Ayat-ayat zakat,
shodaqah dan infaq yang turun di Makkah baru berupa anjuran dan penyampaiannya
menggunakan metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan cacian atau teguran
bagi yang meninggalkannya. Zakat tidak diwajibkan kepada semua nabi dan rasul, karena zakat berfungsi
sebagai alat pembersih kotoran dan dosa, sedangkan para nabi dan rasul terbebas
dari dosa dan kemaksiatan karena mereka mendapat jaminan penjagaan dari Allah
swt. Disamping itu kekayaan yang ada ditangan para nabi adalah titipan dan
amanah Allah swt yang tidak dapat diwariskan.
Landasan kewajiban zakat disebutkan dalam Al
Qur'an, Sunnah dan Ijma Ulama.
a.
AL QUR'AN
Ø
Surat Al-Baqaraah ayat 43: Artinya:
"Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama dengan
orang-orang yang ruku'".
Ø
Surat At-Taubah ayat 103: Artinya:
"Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka karena sesungguhnya
do'amu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui".
Ø
Surat Al An'aam ayat 141: Artinya:
"Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya (kewajibannya)
dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)".
b.
SUNNAH
Ø
Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar: Artinya: "Islam dibangun atas
lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah,
menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan".
Ø
Hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari
Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang
kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro
diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar
atau tidak berbaju kecuali karena ulah orang-orang kaya diantar mereka.
Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka
dengan pedih".
c. IJMA
Ulama baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah sepakat akan kewajiban zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.
Ulama baik salaf (klasik) maupun khalaf (kontemporer) telah sepakat akan kewajiban zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.
4.
PERBEDAAN ANTARA ZAKAT, INFAK DAN SHODAQOH
Dalam penjelasan tentang makna terminologis dari zakat, kita telah
mengetahui bahwa zakat adalah kewajiban harta yang spesifik, memiliki syarat
tertentu, alokasi tertentu dan waktu tertentu. Adapun infak yaitu mengeluarkan
harta yang mencakup zakat dan non zakat. Infak ada yang wajib ada yang sunnah. Infak
wajib diantaranya kafarat, nadzar, zakat dll. Infak sunnah diantaranya infak
kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam dll. Adapun shodaqoh
maknanya lebih luas dari zakat dan infak. Shodaqoh dapat bermakna infak, zakat
dan kebaikan non materi. Dalam hadist riwayat Muslim, Rasulullah saw memberi
jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak
bershodaqoh dengan hartanya, beliau bersabda:
"Setiap tasbih adalah shodaqoh, setiap takbir shodaqoh, setiap tahmid
shodaqoh, setiap tahlil shodaqoh, amar ma'ruf shodaqoh, nahi munkar shodaqoh
dan menyalurkan syahwatnya pada istri juga shodaqoh".
Shodaqoh adalah ungkapan kejujuran (shidq) iman seseorang. Oleh karena itu
Allah swt menggabungkan antara orang yang memberi harta dijalan Allah dengan
orang yang membenarkan adanya pahala yang terbaik. Antara yang bakhil dengan
orang yang mendustakan. Disebutkan dalam surat Al-Lail ayat 5-10 artinya:
"Adapun orang yang memberikan (hartanya dijalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya (jalan) yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya
cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami menyiapkan baginya
(jalan) yang sukar".
5.
SYARAT HARTA YANG WAJIB DIZAKATI
Harta yang akan dikeluarkan zakatnya harus memenuhi beberapa persyaratan,
yaitu:
a. Harta yang Halal
dan Baik
Allah swt berfirman
dalam surat Al-Baqaraah ayat 267, artinya: "Wahai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya.
Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Disebutkan dalam
hadist riwayat Muslim, Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Allah tidak
menerima zakat dari harta yang tidak sah"
b.
Harta Produktif (Nama')
Harta produktif
adalah harta yang berkembang baik secara konkrit atau tidak. Secara konkrit
dengan melalui pengembangan usaha, perdagangan, saham dll. Melalui tangan
sendiri atau orang lain. Sedangkan tidak konkrit yaitu harta tersebut
berpotensi untuk berkembang. Hal ini sesuai makna zakat itu sendiri yang
berarti berkembang. Harta yang tidak
berkembang dan tidak berpotensi untuk dikembangkan tidak wajib dikenai zakat,
sesuai dengan hadist Rasulullah saw riwayat Muslim: Artinya: "Seorang
muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda dan budaknya".
c.
Milik Penuh dan Berkuasa Menggunakannya
Pada hakekatnya
kepemilikan mutlak pada harta adalah Allah swt, tetapi Allah swt memberikan hak
kepemilikan harta kepada manusia secara terbatas. Harta yang dimiliki manusia
secara penuh maksudnya bahwa manusia ia berkuasa memiliki dan memanfaatkannya
secara penuh. Pemilikan dan pemanfaatan harta harus sesuai dengan aturan-aturan
Islam.
d. Mencapai Nishab
(Standar Minimal Harta yang dikenakan zakat)
Kekayaan yang belum mencapai nishab tidak terkenak kewajiban zakat. Karena ketika seseorang belum memiliki kekayaan yang mencapai nishab, berarti masih masuk kategori miskin dan berhak mendapat zakat. Sedangkan ketika kekayaan mencapai nishab berarti sudah dapat mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dalam waktu satu tahun. Sehingga ketika dikenakan zakat tidak akan membahayakan dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Tidak wajib zakat kecuali orang kaya" (HR Bukhari, mualaq dan Ahmad, mausul)
Kekayaan yang belum mencapai nishab tidak terkenak kewajiban zakat. Karena ketika seseorang belum memiliki kekayaan yang mencapai nishab, berarti masih masuk kategori miskin dan berhak mendapat zakat. Sedangkan ketika kekayaan mencapai nishab berarti sudah dapat mencukupi untuk kehidupan sehari-hari dalam waktu satu tahun. Sehingga ketika dikenakan zakat tidak akan membahayakan dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Rasulullah saw bersabda: Artinya: "Tidak wajib zakat kecuali orang kaya" (HR Bukhari, mualaq dan Ahmad, mausul)
e.
Surplus dari Kebutuhan Primer dan Terbebas
dari Hutang
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, apakah harta yang dikeluarkan zakatnya harta penghasilan bersih seltelah dikurangi kebutuhan primer, ataukah harta penghasilan kotor? Disisi lain kebutuhan primer setiap orang bersifar relatif dan tidak terukur, sehingga jika syarat surplus dari kebutuhan primer diberlakukan dapat dipastikan banyak yang tidak membayar zakat, walaupun sudah memiliki harta melebihi nishabnya.
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, apakah harta yang dikeluarkan zakatnya harta penghasilan bersih seltelah dikurangi kebutuhan primer, ataukah harta penghasilan kotor? Disisi lain kebutuhan primer setiap orang bersifar relatif dan tidak terukur, sehingga jika syarat surplus dari kebutuhan primer diberlakukan dapat dipastikan banyak yang tidak membayar zakat, walaupun sudah memiliki harta melebihi nishabnya.
Ulama madzhab Hanafi menentukan bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya
adalah harta yang bersih setelah dikurangi kebutuhan rutin. Alasan ini cukup
kuat, karena zakat diwajibkan bagi orang kaya sesuai hadist, "tidak wajib
bayar zakat kecuali orang kaya". Manakala pendapatan seseorang hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan harian diri dan keluarganya berarti dia tidak termasuk
orang kaya, kecuali jika setelah kebutuhan keluarganya terpenuhi masih memiliki
kelebihan yang mencapai nishab, berarti ia wajib bayar zakat. Hal ini juga
dikuatkan oleh ayat Al-Qur'an surat Al-Baqaraah 219, artinya: "Dan mereka
bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah "Yang lebih dari
keperluan". Menurut Ibnu Abbas 'sesuatu yang lebih' adalah 'sesuatu yang
lebih dari kebutuhan keluarga'.
Zakat juga hanya dikenakan jika terbebas dari hutang. Karena hutang
merupakan beban yang harus ditunaikan. Walaupun seseorang memiliki banyak
kekayaan tetapi jika memiliki banyak hutang maka tidak termasuk orang kaya yang
harus membayar zakat, apalagi jika hutangnya lebih besar dari kekayaan. Dan
dalam Islam, seseorang yang memiliki banyak hutang disebut ghariim yang berhak
menerima zakat. Jika melihat fenomena sekarang dimana mayoritas manusia memiliki
hutang, maka terdapat pendapat yang baik dana patut dipertimbangkan, yaitu
hutang yang terbebas dari zakat adalah hutang yang jatuh tempo.
f.
Haul (Sudah Berlalu Setahun)
Disebutkan dalam
hadist riwayat Abu Dawud: Artinya: "Tidak wajib membayar zakat sampai
sudah berlalu satu tahun" Ulama tabi'in dan fuqoha sepakat tentang ketentuan haul pada beberapa harta
yang wajib dizakati seperti emas, perak, perdagangan, hewan dll. Dan haul tidak
berlaku pada zakat pertanian, rikaz, barang tambang dll. Untuk hasil pertanian
disebutkan dalam surat Al An'aam aya 141, artinya: "Dan tunaikanlah haknya
dihari memetik hasilmu (dengan dikeluarkan zakatnya)".
6.
MACAM-MACAM HARTA YANG WAJIB DIZAKATI
Dalam buku-buku
Fiqh, harta-harta yang wajib dizakati terdiri dari dua macam yaitu Zakat Harta
dan Zakat Fitrah. Kemudian Zakat Harta dibagi lagi menjadi beberapa sub bagian
sbb:
a.
Zakat Emas, Perak dan Perhiasan
b. Zakat Hewan dan
Produk Hewani
c. Zakat Pertanian
dan Hasil Bumi
d. Zakat Barang
Perdagangan
e.
Zakat Rikaz dan Barang Tambang
7.
ZAKAT DAN PAJAK
Banyak orang
berusaha menyamakan antara zakat dan pajak, sehingga konsekwensinya ketika
seseorang sudah membayar pajak maka gugurlah pembayaran zakatnya. Sementara
sebagian lain menolak bahwa zakat sama dengan pajak atau sebagai alternatif dari
kewajiban zakat. Zakat dan pajak adalah dua pungutan wajib yang memiliki
karakteristik berbeda. Jika dilihat
secara cermat memang ada persamaan antara zakat dan pajak, tetapi disisi lain
banyak juga perbedaannya.
Persamaan antara
Zakat dan Pajak:
a.
Bersifat wajib dan mengikat atas harta
penduduk suatu negeri, apabila melalaikannya terkena sanksi.
b. Zakat dan pajak
harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya
dan alokasi penyalurannya. Dalam pemerintahan Islam, zakat dan pajak dikelola
oleh negara.
c. Tidak ada
ketentuan memperoleh imbalan materi tertentu didunia.
d. Dari sisi tujuan
ada kesamaan antara keduanya yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi dan
mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.
Perbedaan antara
Zakat dan Pajak
Perbedaan
|
Zakat
|
Pajak
|
Keterangan
|
Nama Berarti
|
bersih, bertambah dan berkembang
|
Utang, pajak, upeti
|
Seseorang yang membayar zakat hartanya
menjadi bersih dan berkah tidak demikian dengan pajak
|
Dasar Hukum
|
Al Qur'an dan As Sunnah
|
Undang-undang suatu negara
|
Pembayaran zakat bernilai ibadah dan
pendekatan diri kepada Allah sedangkan dalam membayar pajak hanya
melaksanakan kewajiban warga negara
|
Nishab dan Tarif
|
Ditentukan Allah dan bersifat mutlak
|
Ditentukan oleh negara dan yang bersifat
relatif Nishab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan pajak berubah-ubah
sesuai dengan neraca anggaran negara
|
|
Sifat
|
Kewajiban bersifat tetap dan terus menerus
|
Kewajiban sesuai dengan kebutuhan dan dapat
dihapuskan
|
|
Subyek
|
Muslim
|
Semua warga negara
|
|
Obyek Alokasi Penerima
|
Tetap 8 Golongan
|
Untuk dana pembangunan dan anggaran rutin
|
|
Harta yang Dikenakan
|
Harta produktif
|
Semua Harta
|
|
Syarat Ijab Kabul
|
Disyaratkan
|
Tidak Disyaratkan
|
|
Imbalan
|
Pahala dari Allah dan janji keberkahan
harta
|
Tersedianya barang dan jasa publik
|
|
Sanksi
|
Dari Allah dan pemerintah Islam
|
Dari Negara
|
|
Motivasi Pembayaran
|
Keimanan dan ketakwaan kepada Allah
Ketaatan dan ketakutan pada negara dan sanksinya
|
ada pembayaran pajak dimungkinkan adanya
manipulasi besarnya jumlah harta wajib pajak dan hal ini tidak terjadi pada
zakat
|
|
Perhitungan
|
Dipercayakan kepada Muzaki dan dapat juga
dengan bantuan Selalu menggunakan jasa akuntan pajak
|
8.
PEMBAYARAN PAJAK
Pembayaran pajak
dapat dibenarkan dalam Syari'at Islam karena memiliki beberapa konsideran:
a.
Solidaritas sosial dan tolong menolong sesama
muslim dan sesama umat manusia merupakan kewajiban. Allah berfirman dalam surat
Al_maidah ayat 2, artinya: "Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran".
b. Sasaran zakat
terbatas sedangkan kebutuhan negara tidak terbatas. Para ahli fiqh tidak boleh
mercampur adukkan harta zakat dengan pajak. Berkata Abu Yusuf: "Tidaklah
layak kiranya harta kharaj (pajak bumi) digabungkan dengan harta zakat, karena
harta kharaj adalah harta rampasan untuk seluruh kamu muslimin, sedangkan harta
zakat diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Para
ulama berkata: "Zakat tidak boleh digunakan untuk membangun jembatan,
perbaikan jalan, membuat sungai, pembuatan masjid, sekolah, pengairan dan
bendungan".
c. Kaidah-kaidah
Umum Hukum Syara'. Banyak sekali kaidah yang dapat dipakai untuk melegalisasi
pembayaran pajak, diantaranya Maslahah Mursalah.
d. Kebutuhan untuk
biaya jihad dengan segala kaitannya.
e. Kerugian dibayar
dengan keuntungan.
Ketika umat Islam
membayar pajak, dia dapat merasakan hasil pajak tersebut lewat pembangunan dan
keamanan. Agar pembayaran pajak dan zakat dapat berjalan dengan baik maka perlu
adanya sinkronisasi pembayaran keduanya. Misalnya ketika seseorang sudah
membayar zakat, maka beban pembayaran pajaknya dikurangi sebesar zakat yang
telah dikeluarkan agar tidak terjadi kedholiman pada wajib zakat atau wajib
pajak.
Selanjutnya ulama
modern memasukkan atau menganalogikan beberapa bentuk zakat yang belum dikenal
pada saat itu. Diantara bentuk zakat yang popular sekarang adalah: Zakat Uang,
Zakat Profesi, Zakat Investasi dan Saham, Zakat Hadiah, Zakat Perusahaan dll.
Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan pokok-pokok zakat yang sudah
disepakati ulama, kemudian memasukkan atau menganalogikan bentuk-bentuk zakat
yang popular dimasa sekarang dengan bentuk zakat yang sudah baku dan disepakati
ulama, di dalam UU Pajak No. 17 Th. 2000, Pasal 9 huruf g dinyatakan bahwa
zakat yang dibayarkan pada BAZ atau LAZ yang sah (yang terdaftar di dinas
terkait) dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak.
Zakat yang
dibayarkan dihitung sesuai dengan ketentuan syari'ah di atas yang selanjutnya
dikurangkan atas penghasilan kena pajak. Misalnya nilai harta perusahaan yang
kena zakat adalah 100 juta, maka zakatnya adalah 2,5 juta, kemudian nilai
tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak.
9.
UU PENGELOLAAN ZAKAT DAN UU PAJAK
Benda-benda yang
harus dikeluarkan zakatnya secara eksplisit dikemukan dalam UU pengelolaan
zakat Bab IV tentang pengumpulan zakat pasal 11 ayat (1)
menyatakan bahwa zakat terdiri atas zakat maal dan fitrah.
Pada ayat (2)
dikemukan bahwa harta yang dikenai adalah:
a.
Emas, perak dan uang
b.
Perdagangan dan perusahaan
c.
Hasil Pertanian, hasil perkebunan dan hasil
perikanan
d.
Hasil pertambangan
e.
Hasil Perternakan
f.
Hasil pendapatan dan jasa
g.
Rikaz
Ayat (3)
Penghitungan zakat maal menurut nishab, kadar, dan waktu ditetapkan berdasarkan
hukum agama (Syariat Islam) Dalam Undang-undang Pajak yaitu No. 17 tahun 2000 dikemukan dalam pasal 9
ayat (1) bahwa untuk dalam undang-undang Pajak yaitu No. 17 tahun 200 dikemukan
dalam pasal 9 ayat (1) bahwa untuk: g. Harta yang dihibahkan bantuan atau
sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib
Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah. Diktum tersebut secara
jelas menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan kepada BAZ dan LAZ yang sah
menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Zakat yang dibayarkan hendaknya
benar-benar sesuai dengan ketentuan syari'ah seperti di atas. kemudian nilai
tersebut dikurangi atas penghasilan kena pajak. Karena itu, Agar perhitungan
tersebut sesuai dengan syari'ah Islam Perlu ada peraturan Pemerintah (PP) yang
mengaturnya.
Manfaat zakat dalam penyelesaian krisis:
1.
Manfaat Zakat Sebagai Tatanan Kehidupan
Sosial
Dalam berbagai kesempatan
seringkali dibicarakan tentang beberapa kisah yang terjadi pada masa
Rasulullah. Boleh jadi sebagian dari kita sudah hafal isi kisah tersebut namun
kesibukan sehari-hari membuat kita sejenak terlupa, boleh jadi sebagian dari
kita sudah paham betul esensi dari kisah yang akan disampaikan di bawah ini,
namun tak ada salahnya untuk sedikit merenungi kembali kisah-kisah ini dan
berkaca ke lubuk hati kita. Di bagian lain kita akan lihat sejumlah ayat Qur'an
yang berkenaan dengan tema utama kita kali ini.
Kita terbang lima
belas abad kebelakang. Di suatu tempat terlihat Rasulullah saw berkumpul
bersama para sahabatnya yang kebanyakan orang miskin. Sekedar menyebut beberapa
nama sahabat yang hampir semuanya bekas budak, yaitu Salman al-Farisi, Ammar
bin Yasir, Bilal, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Pakaian mereka lusuh, berupa jubah
bulu yang kasar. Tetapi mereka adalah sahabat senior Nabi, para perintis
perjuangan Islam.
Serombongan
bangsawan yang baru masuk islam datang ke majelis Nabi. Ketika melihat orang-orang
di sekitar Nabi, mereka mencibir dan menunjukkan kebenciannya. Mereka berkata
kepada Nabi, "Kami mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis
khusus bagi kami. Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan
dari berbagai kabilah arab akan datang menemuimu. Kami malu kalau mereka
melihat kami duduk dengan budak-budak ini. Apabila kami datang menemui Anda,
jauhkanlah mereka dari kami. Apabila urusan kami sudah selesai, bolehlah anda
duduk bersama mereka sesuka Anda.
Uyainah bin Hishn
menegaskan lagi, Bau Salman al-Farisi mengangguku (Ia menyindir bau jubah bulu
yang dipakai sahabat nabi yang miskin). Buatlah majelis khusus bagi kami
sehingga kami tidak berkumpulbersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka
sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami. Tiba-tiba
turunlah malaikat jibril menyampaikan surat al-An'am [6] ayat 52: "Dan
janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di
petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung
jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka. Begitu pula mereka tidak memikul
tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu,yang menyebabkan kamu (berhak)
mengusir mereka, sehingga kamu termasukorang-orang yang zalim.
Nabi saw segera
menyuruh kaum fukara duduk lebih dekat lagi sehingga lutut-lutut mereka merapat
dengan lutut Rasulullah saw. "Salam 'Alaikum," kata Nabi dengan
keras, seakan-akan memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy. Setelah itu,
turun lagi surat al-Kahfi [18] ayat 28: "Dan bersabarlah kamu bersama-sama
dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka
(karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti
orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti
hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas."
Sejak itu,
apabila kaum fukara ini berkumpul bersama Nabi, beliau tidak meninggalkan
tempat sebelum orang-orang miskin itu pergi. Apabila beliau masuk ke majelis,
beliau memilih duduk dalam kelompok mereka. Seringkali beliau berkata,
"Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok
yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan
matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari
kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari,
yang ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara
orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya.
Sekarang bukalah
cermin di hati kita. Tariklah nafas sejenak untuk berkaca ke dalam cermin itu.
Apakah kita seperti pembesar Quraisy yang terganggu dengan bau tubuh orang
miskin. Apabila tamu datang, kota kita bersihkan dan mereka, kaum fukara,
dipinggirkan. Kota baru gemerlap bila mereka disingkirkan. Pemandangan baru
indah bila rumah-rumah kumuh digusur. Ah...betapa perilaku kita lebih
menyerupai pembesar quraisy daripada perilaku Nabi Yang Mulia.
Dalam kesempatan
lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat, Sa'ad al-Anshari yang memperlihatkan
tangannya yang melepuh karena kerja keras. Nabi bertanya, "mengapa
tanganmu hitam, kasar dan melepuh?" Sa'ad menjawab, "tangan ini
kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku." Nabi yang mulia berkata,
"ini tangan yang dicintai Allah," seraya mencium tangan yang hitam,
kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang tangannya selalu berebut untuk
dicium oleh para sahabat, kini mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh.
Bukalah cermin
hati kita lagi. Turunlah kita ke bawah. Tengoklah jutaan tangan yang hitam dan
melepuh menunggu uluran kasih sayang kita. Setelah Nabi, adakah di antara kita
yang mau mencium tangan orang miskin? Bukankah dengan status yang kita miliki,
gelar akademik yang kita raih, kesejahteraan yang kita nikmati, kita merasa
jauh lebih pantas bila orang miskin mencium tangan kita. Kalau hati terasa
berat, andaikata kultur tak mengizinkan kita berbuat hal itu, manakala ego
terasa meningkat, bukankah paling tidak kita ganti rasa hormat yang seharusnya
kita berikan dengan kasih sayang pada mereka. Bila Nabi mau mencium tangan
mereka, maukah kita untuk paling tidak menyisihkan sebagian rezeki yang kita
peroleh sebagai rasa sayang kita pada mereka.
Di atas kita
telah mengutip sejumlah kisah dalam hidup Nabi. Bukankah sebagai ummatnya kita
telah berikrar untuk menjadikan segala perilaku beliau sebagai contoh teladan
(uswatun hasanah). Untuk menguatkan bahwa Islam sangat menonjolkan kepedulian
sosial, mari kita buka Al-Qur'an. Bukankah Al-Qur'an adalah rujukan kita yang
pertama dalam hidup ini.
1.
Surat al-Balad [90] ayat 10 -18
"Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan Maka tidakkah
sebaiknya (denganhartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?
Tahukah kamu apakah jalanyang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak
dari perbudakan, atau memberiMAKAN pada hari kelaparan (kepada) anak YATIM yang
ada hubungan kerabat, atauorang MISKIN yang sangat fakir. Dan dia termasuk
orang-orang beriman dan salingberpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk
berkasih sayangMereka (orang-orangyang beriman dan saling berpesan itu) adalah
golongan kanan.
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa ada dua jalan yang bisa kita pakai
dalam memanfaatkan harta kita. Al-Qur'an menyarankan kita untuk mengambil jalan
yang sukar dan mendaki, yaitu memerdekakan budak atau memberi makan pada anak
yatim atau orang miskin. Allah tidak menjelaskan tentang jalan yang mudah,
melainkan memberi contoh jalan yang sukar. Mengapa disebut
jalan yang sukar? karena kebanyakan manusia enggan atau merasa berat atau
merasa sukar untuk melakukannya. Bila kita mampu mengalahkan rasa berat dan
rasa sukar pada diri kita dalam beramal, maka Allah menjanjikan kita termasuk
golongan yang kanan; ahli surga. Bukalah cermin hati kita sekali lagi. Apakah
kita merasa sukar untuk beramal pada orang miskin dan anak yatim? Hanya cermin
hati yang teramat dalam yang mampu menjawabnya dengan jujur.
2.
Surat al-Ma'arij [70] ayat 19-25
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi KIKIR,
Apabila ia ditimpakesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan
ia amat kikir, kecualiorang-orang yang mengerjakan SHALAT, yang mereka itu
tetap mengerjakan shalatnya,dan orang-orang yang dalam HARTAnya tersedia bagian
tertentu, bagi orang (miskin) yangmeminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa
(yang tidak mau meminta). Secara tegas
Allah menyebutkan bahwa keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat bawaan
manusia sejak ia diciptakan. Allah melukiskan sifat manusia dengan sangat baik.
Bagi saya pribadi, ayat di atas telah menelanjangi sifat kita. Bukankah kalau
kita tidak memiliki harta kita sering berkeluh kesah, sebaliknya, kalau
memiliki banyak harta kita cenderung untuk kikir. Lalu bagaimana caranya agar
sifat bawaan (keluh kesah & kikir) kita tersebut tidak menjelma atau dapat
kita padamkan.
Allah menyebutkan, paling tidak, dua jalan. Pertama, mengerjakan sembahyang
secara kontinu. Kedua, menyadari bahwa dalam harta yang kita miliki terkandung
bagian tertentu untuk fakir miskin. Dua resep ini insya Allah akan mampu
memadamkan sifat keluh kesah dan sifat kikir yang kita miliki. Sekali lagi,
bukalah cermin hati kita. Tahanlah nafas kita untuk sejenak. Tidakkah kita
rasakan bagaimana Allah menyinggung perilaku buruk kita dalam ayat-ayat-Nya
yang suci.
3.
Surat al-Qalam [68] ayat 17-33
"Sesungguhnya
Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekkah) sebagaimana Kami telahmenguji
pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa merekasungguh-sungguh akan
memetik (hasil) nya di pagi hari, dan mereka tidak mengucapkan :insya Allah. Lalu kebun itu
diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur,maka
jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita, lalu mereka
panggilmemanggil di pagi hari "Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik
buahnya." Maka pergilah
mereka saling berbisik-bisikan. "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke
dalam kebunmu." Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan
niatmenghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (meonolongnya),
Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: "Sesungguhnya kita
benar-benaroarng-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari
memperoleh hasilnya).
Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka:
"Bukankah aku telahmengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada
Tuhanmu). Mereka
mengucapkan: "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah
orang-orangyang zalim. Lalu sebagian
mereka menghadapi sebagian yang lain seraya cela mencela Merekaberkata:
"Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang
yangmelampaui batas.Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita
dengan(kebun) yang lebih baik daripada itu; sesungguhnya kita mengharapkan
ampunan dariTuhan kita. Seperti itulah
azab (dunia). Dan sesungguhnya azab akhirat lebih besar jika merekamengetahui.
Sekelompok ayat di atas menceritakan sebuah kisah nyata yang terjadi
sebelum masa Rasulullah. Kisah pemilik kebun di atas melukiskan dengan sangat
baik betapa harta manusia itu tak ada artinya dibandingkekuasaan Allah. Kebun
yang sudah sekian lama diurus dan tinggal sekejap mata saja untuk dipetik
hasilnya menjadi musnah terbakar. Apa kesalahan pemilik kebun tersebut sehingga
mendapat azab sedemikian rupa. Pertama, mereka
lupa bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Ini dilukiskan dalamayat di atas
ketika mereka tidak menyebut insya Allah; mereka merasa pasti akan meraih hasil
yang luar biasa. Mereka lupa bahwa sedetik kedepan kita tak tahu apa yang
terjadi dengan hidup kita. Kita tak tahu "skenario" Allah terhadap
diri kita.
Kedua, mereka bersifat kikir. Mereka sudah bersiap-siap agar orang miskin
tak bisa masuk ke kebun mereka saat panen tiba. Allah murka pada mereka. Allah
turunkan azab-Nya pada mereka. Di akhir ayat Allah mengingatkan bahwa azab yang
Allah timpakan pada pemilik kebun hanyalah azab dunia; sedangkan azab akherat
jauh lebih besar lagi. Cermin hati kita
mengatakan bahwa agar tidak tertimpa azab Allah di dunia, manakala kita
memiliki kelebihan rezeki maka janganlah sungkan untuk memberi sebagian pada
orang miskin. Cermin hati telah berkata, mampukah kita melaksanakan kata-hati
kita.
Kalau Allah mampu memusnahkan dengan amat mudah kebun yang siap dipanen,
jangan-jangan Allah pun akan memusnahkan sumber penghasilan kita, bila kita berlaku
kikir! Na'udzu billah. Demikianlah
sekedar pengantar untuk pengajian kita; sekedar saling ingat mengingatkan bahwa
di cermin hati kita telah tergambar sejumlah orang yang membutuhkan kepedulian
kita. Persoalannya, maukah kita melihat ke dalam cermin tersebut.
2.
Zakat Sebagai Landasan Sistem Perekonomian
Islam
Zakat adalah landasan sistem perekonomian Islam dan menjadi tulang
punggungnya. Karena sistem perekonomian Islam berdasarkan pengakuan bahwa Allah
adalah pemilik asal, maka hanya Dia yang berhak mengatur masalah pemilikan,
hak-hak dan penyaluran serta pendistribusian harta. Zakat adalah pencerminan
dari semua itu. Karena ia merupakan salah satu hak terpenting yang dijadikan
Allah di dalam pemilikan. Disamping itu, dalam harta yang kita miliki, masih ada hak-hak lain diluar
zakat. Dalam sebuah hadits dikatakan : "Sesungguhnya di dalam harta itu
ada hak selain zakat". Tetapi zakat merupakan hak terpenting di dalam
harta. Karena itu ia menjadi penyerahan total kepada Allah dalam persoalan
harta. Sabda Nabi Muhammad SAW: "Zakat adalah bukti (penyerahan)".
Dalam masalah modal, Islam memiliki prinsip-prinsip tertentu, antara lain:
Penumpukan dan pembekuan harta adalah tindakan tidak benar dalam masalah harta.
Harta harus dikembangkan dan zakat merupakan pengejawantahan dalam masalah ini.
Sebab, modal yang tidak dikembangkan, pemilik tetap berkewajiban membayar
zakat. Berarti dia harus mengurangi bagian modal itu setiap tahunnya. Akhirnya
akan mengakibatkan semakin menipisnya modal. Misalnya, seorang
memiliki uang lima juta rupiah yang tidak dikembangkan. Dia akan membayar zakat
uang tersebut setiap tahunnya sebanyak 2.5 %. Dalam beberapa tahun harta yang
lima juta rupiah tersebut, kecuali nishab, pasti akan habis seluruhnya. Karena
itu, pemilik modal terpaksa harus mengembangkan hartanya bila ingin menjaga
modal agar tidak habis. Sehingga zakatnya dibayar dari keuntungan, bukan dari
itu sendiri.
Dengan demikian, sistem zakat menjadikan modal selalu dalam perputaran.
Dengan ini pula kita dapat memahami firman Allah: "Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (Qs.
At Taubah:34)" Selama infaq di
jalan Allah ditunaikan, atau sekurang-kurangnya dengan membayar zakat, maka
penimbunan harta benda itu tidak akan pernah terjadi. Rasulullah SAW bersabda:
"Selama kamu tunaikan zakatnya, maka ia bukan timbunan".
Jadi, tidak mungkin terjadi bersama-sama antara penimbunan dengan zakat.
Modal, sebagai modal yang tidak dikembangkan, tidak memiliki keuntungan.
Tetapi, di dalamnya ada hak orang lain, yaitu penerimaan zakat. Modal, berhak
mendapatkaan keuntungan setelah dikembangkan sebagai imbalan atas kesediaannya
menanggung kerugian. Misalnya, dalam satu syarikat mudharabah (usaha bagi
hasil) pemilik modal berhak mendapat keuntungan sebagai imbalan kesediaan modal
tersebut menanggung kerugian, bila terjadi kerugian. Ini menunjukan perbedaan
pokok dalam memandang persoalan harta sebagai modal antara Kapitalisme dan
Komunisme di satu pihak dengan sistem Islam di pihak lain.
Islam telah meletakan masalah ini secara proporsional dan adil melalui
semua institusi yang ada terutama melalui instansi zakat (lembaga pengelola
zakat). Harta menurut Islam, kalau dikembangkan ada hak mendapatkan keuntungan
sebagai imbalan atas kesediannya menanggung resiko rugi. Pemilik modal berhak
memperoleh keuntungan sebagai imbalan pengelolaan dan kesediaannya menanggung
resiko kerugian. Kepada pemilik modal
diwajibkan membayar zakat setiap tahun, bukan saja dari keuntungan, tetapi juga
dari modal itu sendiri. Dengan demikian, 'kelebihan nilai' yang digambarkan
Karl Marx tidak akan kembali kepada pemilik modal, kecuali dalam jumlah kecil
yang menjadi haknya. Selebihnya akan kembali kepada berbagai tingkatan
masyarakat yang berhak menerimanya sebagai upaya mewujudkan Jaminan Sosial yang
merupakan kewajiban bagi orang yang mampu (aghniya).
Peran Amilin (Pengelola) Zakat
Zakat bukan persoalan
baru. Tetapi, pada waktu yang sama, persoalan tersebut tetap hangat karena
senantiasa dibahas dan seolah tak pernah habis dan selesai. Salah satu ciri
atau sifat ilmu Islam memang demikian, selalu memberi nuansa baru untuk dikaji
dan ditelaah. Zakat adalah sebuah persoalan faridhah sulthaniyah, yaitu suatu
kewajiban yang terkait dengan kekuasaan. Karena itu, pelaksanaannya dilakukan
oleh amilin 'alaiha (petugas-petugas zakat, QS. 9; 60). Dan amilin, walaupun
ada aturan tersendiri dalam masyarakat, surat keputusan asalnya ada dalam
Al-Qur'an dan merupakan bagian organik dari Undang-undang Islam secara
keseluruhan.
Para amilin pertama-tama
berfungsi sebagai pengemban amanah Allah SWT, kemudian ia mewakili Rasulullah
SAW sebagai iqamatud dien wa siyasah fid dunya para umara setelah rasulullah,
yaitu menegakkan agama dan mengatur kehidupan di dunia. Zakat tentu saja
merupakan salah satu tiang dari tiang-tiang agama. Jadi kedua, amilin mengemban
amanat untuk mengorganisasikan (mengelola) zakat ini. Dalam hal ini , mereka
bertindak sebagai niyabur Rasul (wakil Rasulullah SAW) dalam iqamatud dien. Dan
ketiga, amilin adalah wakil dari tatanan tersebut. Dari sisi ini, kita dapat
melihat betapa pentingnya posisi amilin.
Apa yang perlu dilengkapi
atau dimiliki oleh para amilin? Surat at-Taubah ayat 103 secara mendasar
menyebutkan hal apa saja yang perlu diperhatikan para amilin zakat. Allah
berfirman, "Ambillah dari harta mereka shadaqah (zakat)." Dari
kata-kata ini dapat ditarik kesimpulan adanya al-mubadarah (inisiatif), manajemen,
yang berarti amil tidak sekedar menunggu saja datangnya zakat tersebut. Tetapi
amilin harus memperlihatkan sikap "Khudz" (ambil) yang dituangkan
dalam bentuk sistem perencanaan, strategi dan pengelolaan yang baik. Walaupun
otoritas sepenuhnya belum dimiliki (karena otoritas sesungguhnya ada di tangan
daulah). Namun inisiatif harus dilakukan.
Dalam rangka inisiatif
juga, para amilin membantu para muzakki untuk dapat dengan benar menunaikan
zakatnya. Karenanya, para ulama membagi amwal (harta) itu ke dalam dua jenis,
yaitu yang tampak atau ditampakkan (zhahir) dan yang tidak tampak (bathin).
Harta yang zhahir, misalnya binatang ternak dan tijarah (perdagangan). Binatang
ternak dapat dihitung dan tijarah dapat di tampakkan dengan Ilmu akuntansi.
Para amilin berkewajiban membantu penghitungan ini. Jadi, tidak hanya percaya
saja. Bahkan, kalau perlu mereka membantu membuat teknik penghitungannya
(akuntansinya).
Adapun untuk amal yang
bathinah, zakatnya diserahkan kepada muzakki, artinya amilin percaya kepadanya
tentang seberapa besar hitungan hartanya. Karena agak sukar untuk melacaknya,
terutama dalam keterbatasan otoritas amilin. Keterbatasan amilin memang cukup
menyulitkan. Ia tidak bisa bertanya atau menyelidiki seberapa jauh kebenaran
pembukuan yang dilaporkan muzakki. Untuk kondisi sekarang, sang muzakki mau
menyerahkan zakatnya saja seolah-olah sudah merupakan penghargaan, karena
kepercayaannya. Meskipun demikian, agaknya bertanya tentang kesulitan-kesulitan
yang dihadapi muzakki dalam penghitungan zakatnya, sudah merupakan bentuk
mas'uliyah amilin. Mas'uliyah amilin dalam bentuk pengenaan sanksi bagi muzakki
yang secara sengaja menggelapkan hartanya, tampaknya belum saatnya menjadi
otoritas yang dimiliki amilin saat ini.
Dalam kaitan bunyi ayat
"tuthahirhum" (agar dapat membersihkan harta mereka), para amilin
membantu muzakki untuk membersihkan harta mereka dari penyakit ruhiyah. Hal ini
bisa dilakukan dengan taujih (pengarahan). "Watuzakkihim biha" di
sini bermakna pengembangan (tanmiyah) berupa pengembangan harta atau
kepribadian muzakki sendiri. Misalkan diusahakan bagaimana zakat ini dapat
menyebabkan pengembangan harta (tanmiyatul maal). Para ulama sepakat bahwa
proteksi zakat itu pada hakikatnya adalah pengentasan kemiskinan. Untuk
sementara, boleh saja digunakan untuk saluran-saluran konsumtif. Namun tidak
boleh terus menerus. Oleh karena itu, meskipun berlangsung penggunaan
konsumtif, upaya-upaya yang mengarah pada penggunaan usaha-usaha produktif
serta pengembangan pemberdayaan perlu direncanakan secara baik.
Amilin (pengelola) harus
mempunyai proyeksi jangka panjang. Misalkan ada seseorang yang sebenarnya
berhak menerima zakat, padahal saat itu tampak dapat mengendalikan keperluannya
sekadarnya. Maka, dapat ditanyakan kepadanya apakah bagian zakatnya dapat
dimasukkan ke dalam sektor produktif, misalnya dalam bentuk saham. Dengan
Kumpulan saham dari harta zakat para mustahiq ini mungkin dapat diupayakan
sebuah usaha yang menguntungkan. Dengan upaya ini diharapkan terjadi
pengembangan harta dari para mustahiq, sehingga pada saatnya dia dapat menjadi
muzakki. Semua ini perlu perencanaan.
Hal lain yang perlu
dilakukan amilin adalah mendo'akan para muzakki baik yang sifatnya rutin
harian, bulanan dan tahunan melalui ucapan selamat ulang tahun, hadiah dan
sebagainya, sehingga mereka merasa puas dan senang dengan pekerjaan itu. Amilin
yang hanya menerima begitu saja akan mengurangi kesakralan momen pemberian
zakat, padahal di sana terdapat sebuah peristiwa yang cukup tinggi nilainya.
Seseorang yang berada pada kecukupan tenaga berupaya memikirkan pertolongan
bagi saudara-saudaranya yang berada dalam kesulitan ekonomi.
Mengupayakan
inventarisasi mustahiq merupakan langkah lain yang perlu diperhatikan para
amilin. Sebab, terdapat suatu kenyataan adanya fuqara yang tidak menampakkan
kesulitannya atau meminta-minta karena sifat 'iffah (menjaga diri)-nya.
Sebagaimana digambarkan dalam ayat 273 surat Al-Baqarah: "(Berinfaqlah)
kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah. Mereka tidak
dapat berusaha di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya
karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat
sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. "Dan
harta apa saja yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah) maka sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui.'
Amilin perlu pengenalan
lebih jauh terhadap fuqara atau masakin. Jika ada orang yang berhak dan
ternyata dia tidak kebagian zakat, maka hal ini menjadi tanggung jawab amilin
karena kurang perhatian. Fuqara yang 'iffah, tidak mungkin mendaftarkan diri
kepada amilin untuk dimasukkan sebagai mustahiq. Pengalaman dibeberapa tempat,
ketika perencanaan atau manajemen zakat (fitrah) tidak ditangani secara baik
akan berdampak negatif. Keterbatasan waktu pembagian menyebabkan amilin
akhirnya bekerja secara tergesa-gesa, karena adanya "dead line"
pembagian zakat fitrah. Apabila ini terjadi, dapat berakibat kurang selektif
dalam pemilihan mustahiq. Yang penting habis terbagi saja. Amilin yang demikian
tidak dapat menunaikan tugas sebagaimana mestinya.
Inventarisasi mustahiqin
perlu dilakukan sedini mungkin. Bahkan, jika mungkin peta mustahiqin itu sudah
dimiliki sejak lama sebelumnya. Hal ini jelas membantu keefektifan pembagian
zakat. Efektivitas pembagian zakat dengan demikian sangat ditentukan oleh
kemampuan amilin. Tentu tidak diharapkan zakat hanya sebagai suatu rutinitas
tanpa disertai perubahan-perubahan dalam tubuh masyarakat. Evaluasi pelaksanaan
zakat perlu dilakukan tahun demi tahun, sehingga pelaksanaan tahun ini bisa
lebih baik dari pelaksanaan tahun lalu. Kalau terjadi penurunan, maka amilin
tidak berfikir maju dan zakat akan sulit menjadi sebuah pemecahaan bagi
masalah-masalah ekonomi dalam masyarakat Islam.
Amwalu zakat (harta-harta
zakat), pada saat ini memang sudah berkembang sedemikian rupa. Zakat peternakan
atau pertanian, misalnya, sudah hampir tidak dikenal lagi di daerah perkotaan
yang padat dan kumuh. Amwalu zakat yang akan banyak ditemui di daerah ini
adalah zakat kasbul amal (penghasilan) atau tijarah (perdagangan). Amilin perlu
menjelaskan tentang hakekat nishab (batas minimal harta yang dimiliki untuk
terkena kewajiban mengeluarkan zakat). Hakekat nisab adalah kelebihan seseorang
dari hajat asasiyah (kebutuhan dasar) nya. Di sini, sesungguhnya akan berlaku
peran ketaqwaan, karena kebutuhan dasar seseorang bisa beragam sekali. Jika
seseorang kecenderungan konsumtifnya besar, maka angka kebutuhan dasarnya pun
akan besar.
Dan mungkin akan ada
orang yang tidak pernah sempat mengeluarkan zakat, karena kebutuhannya yang
senantiasa besar dan terus kekurangan, misalnya untuk perumahan, mobil, dan
sebagainya. Utang cicilan untuk masa sekarang misalnya sangat banyak ragamnya,
yaitu rumah, mobil, alat-alat rumah tangga, dan sebagainya. Maka hal yang terpenting
adalah bagaimana upaya menumbuhkan ketaqwaan seseorang sehingga yang
dibangkitkan adalah semangat untuk berzakatnya. Bukan pada persoalan hitung
menghitung yang dapat mengaburkan niat buruk seseorang dan kewajiban membayar
zakat. Oleh karena itu, tuntunan perhitungan zakat perlu diserahkan sehingga
tidak membawa kepada muzakki terjebak pada pola hidup yang konsumtif.
Pembatasan-pembatasan
perlu dilaksanakan. Keperluan perumahan yang diambil secara cicilan, rumah
model manakah yang bisa ditolerir? Apakah model rumah sangat sederhana,
sederhana atau rumah besar yang mewah? Kendaran, misalnya kendaraan merk apa
dan berapa harganya yang boleh ia cicil dan layak dianggap sebagai kebutuhan
pokok? Demikian juga untuk biaya pendidikan, kesehatan dan pengobatan.
Pengarahan-pengarahan perlu dilakukan oleh seorang amilin.
0 komentar "Zakat Dan Peranannya Dalam Krisis", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar
Kita adalah penjelajah,,tinggalkanlah jejak anda dimanapun anda kunjungi.
semoga bermanfaat