Marhaban terambil dari kata rahb
yang berarti luas atau lapang,
sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan
dada lapang, penuh
kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa
saja yang diinginkannya. Dari
akar kata yang
sama dengan "marhaban", terbentuk
kata rahbat yang antara lain berarti "ruangan luas
untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna
melanjutkan perjalanan." Marhaban ya Ramadhan berarti "Selamat datang
Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang
dada, penuh kegembiraan;tidak
dengan menggerutu dan
menganggap kehadirannya "mengganggu
ketenangan" atau suasana nyaman kita. Marhaban ya
Ramadhan, kita ucapkan
untuk bulan suci itu, karena kita
mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan
menuju Allah Swt.
Ada gunung yang tinggi yang harus
ditelusuri guna menemuinya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng
yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok
yang mengancam, serta iblis yang merayu,
agar perjalanan tidak
melanjutkan. Bertambah tinggi gunung
didaki, bertambah hebat
ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi,
bila tekad tetap membaja,
sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan
jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh,
serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan
dilanjutkan akan ditemukan kendaraan
Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan
kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang
lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.
Tentu kita
perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda
apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang
membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam
Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah
melalui pengabdian untuk
agama, bangsa dan
negara. Semoga kita berhasil,
dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.
PUASA MENURUT AL-QURAN
Al-Quran menggunakan
kata shiyam sebanyak
delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum
syariat. Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi
maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara: Sesungguhnya Aku
bernazar puasa (shauman), maka hari ini aku tidak akan berbicara dengan seorang
manusia pun (QS Maryam [19]: 26). Demikian ucapan Maryam
a.s. yang diajarkan
oleh malaikat Jibril ketika
ada yang mempertanyakan tentang
kelahiran anaknya (Isa
a.s.). Kata ini
juga terdapat masing-masing sekali dalam
bentuk perintah berpuasa
di bulan Ramadhan, sekali dalam
bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa adalah baik
untuk kamu", dan
sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa
pria dan wanita,
yaitu ash-shaimin wash-shaimat.
Kata kata yang
beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama
yakni sha-wa-ma yang
dari segi bahasa maknanya berkisar
pada menahan dan berhenti atau tidak bergerak. Kuda yang
berhenti berjalan dinamai faras
shaim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas apa
pun aktivitas itu dinamai
shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini,
dipersempit maknanya oleh
hukum syariat, sehingga shiyam
hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan, minum, dan
upaya mengeluarkan sperma
dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari".
Kaum sufi, merujuk ke hakikat
dan tujuan puasa,
menambahkan kegiatan yang harus
dibatasi selama melakukan
puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati
dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyam atau shaum
--bagi manusia-- pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena
itu pula puasa dipersamakan dengan
sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya
berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.
Hadis qudsi
yang menyatakan antara
lain bahwa, Puasa untukku, dan Aku yang memberinya
ganjaran" dipersamakan oleh banyak
ulama dengan firmannya dalam surat Az-Zumar (39): 10. Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. Orang
sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.
Ada beberapa
macam puasa dalam
pengertian syariat/hukum
sebagaimana
disinggung di atas.
1.
Puasa wajib sebutan Ramadhan.
2.
Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau
semacamnya.
3.
Puasa sunnah.
PUASA RAMADHAN
Uraian Al-Quran tentang puasa
Ramadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2):
183, 184, 185,
dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan
setelah Nabi Saw.
tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat
A1-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan
menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa
Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah. Apakah
kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran
selama sebutan penuh, ataukah
bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran yang
seringkali melakukan penahapan
dalam perintah- perintahnya, maka
agaknya kewajiban berpuasa
pun dapat dikatakan demikian.
Ayat 184 yang menyatakan ayyaman
ma'dudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari
dalam sebutan yang
merupakan tahap awal
dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan
turunnya ayat 185:
Barangsiapa di
antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan),
maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib
baginy berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Pemahaman semacam ini
menjadikan ayat-ayat puasa
Ramadhan terputus-putus
tidak menjadi satu
kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan
sebagai satu kesatuan,
penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran
mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya
telah melakukan puasa
sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran,
apalagi tidak ditemukan satu
ayat pun yang berbicara tentang
puasa sunnah tertentu. Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa
di bulan Ramadhan, dimulai dengan
satu pendahuluan yang
mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan baik,
tanpa sedikit kekesalan pun.
Perhatikan surat
Al-Baqarah (2): 185.
ia dimulai dengan panggilan mesra, "Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu
berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan,
belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa
itu, tetapi terlebih dahulu
dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap
umat-umat sebelum kamu." Jika
demikian, maka wajar pula
jika umat Islam
melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang
berpuasa sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari
siksa)."
Kemudian Al-Quran dalam surat
A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban
itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa
hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan
bagi yang berada di kampung
halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga
"barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung
berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang
lain. "Sedang yang merasa
sangat berat berpuasa,
maka (sebagai gantinya) dia
harus membayar fidyah,
yaitu memberi makan seorang
miskin. Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa
"berpuasa adalah baik.
Setelah itu disusul dengan
penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan,
dan dari sini
datang perintahnya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi
kembali diingatkan bahwa orang yang
sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan
penegasan mengenai peraturan
berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan
ditutup dengan "Allah menghendaki
kemudahdn untuk kamu bukan
kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat
186 tidak berbicara tentang puasa,
tetapi tentang doa. Penempatan
uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu
mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya
ia mengisyaratkan bahwa berdoa di
bu1an Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan
karena itu ayat tersebut
menegaskan bahwa Allah
dekat kepada
Hamba hambanya dan menerima
doa siapa yang berdoa.
Selanjutnya ayat 187 antara lain
menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam Ramadhan, di
samping penjelasan tentang lamanya puasa yang
harus dikerjakan, yakni
dari terbitnya fajar sampai
terbenamnya matahari. Banyak
informasi dan tuntunan
yang dapat ditarik
dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa. Berikut akan
dikemukan sekelumit baik yang
berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya,
dengan menggarisbawahi kata
atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.
BEBERAPA ASPEK
HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA
A.
Faman kana minkum maridha (Siapa di antara
kamu yang menderita sakit)
Maridh berarti
sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa
secara garis
besar dapat dibagi dua:
1.
Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal
ini ia wajib berbuka
2.
Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan
mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak
berpuasa.
Sebagian ulama menyatakan bahwa
penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka.
Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan
di siang hari
bukan Ramadhan, dengan alasan
jari telunjuknya sakit.
Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci
persolan ini. Teks ayat mencakup
pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa
Allah Swt. sengaja memilih
redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk
menentukan sendiri apakah ia
berpuasa atau tidak.
Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan
sakit atau dalam perjalanan tetap harus
menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang
lain.
b. Aw'ala safarin
(atau dalam perjalanan)
Ulama-ulama berbeda pendapat
tentang bolehnya berbuka
puasa bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut
berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara
umum dapat dikatakan
bahwa jarak perjalanan tersebut
sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga
yang tidak menetapkan jarak tertentu,
sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau
perjalanan, maka hal itu
merupakan izin untuk
memperoleh kemudahan (rukhshah).
Perbedaan lain berkaitan
dengan 'illat (sebab)
izin ini. Apakah karena
adanya unsur safar
(perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini,
dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat
kurang dari satu jam,
serta tidak meletihkan,
apakah ini dapat dijadikan alasan
untuk berbuka atau meng-qashar shalat
atautidak. Ini antara
lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.
Selanjutnya mereka juga
memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan
berbuka (demikian juga qashar dan
menjamak shalat). Apakah perjalanan tersebut
harus bertujuan dalam kerangka ketaatan
kepada Allah, misalnya
perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis
dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang
memasukkan hal-hal di atas
sebagai membolehkan berbuka, lebih
kuat, kecuali jika perjalanan
tersebut untuk perbuatan maksiat, maka
tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin
untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana mungkin
orang yang durhaka
memperoleh rahmat kemudahan dari
Allah Swt.?
Juga diperselisihkan apakah
yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau
berbuka? Imam Malik dan imam
Syafi'I menilai bahwa berpuasa
lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi
sebagian besar ulama
bermazhab Maliki dan Syafi'i
menilai bahwa hal
ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing
pribadi, dalam arti apa pun
pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini
dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas
bin Malik yang menyatakan bahwa, Kami
berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada
yang berpuasa dan adapula yang
tidak berpuasa. Nabi tidak
mencela yang berpuasa, dan tidak
juga (mereka) yang tidak berpuasa.
Memang ada juga ulama yang
beranggapan bahwa berpuasa
lebih baik bagi orang yang mampu.
Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan
alasan, ini adalah izin
Allah. Tidak baik
menolak izin dan seperti
penegasan Al-Quran sendiri dalam
konteks puasa, "Allah
menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan." Bahkan ulama-ulama
Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar
firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:
c. Fa 'iddatun
min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).
Ulama keempat
mazhab Sunnah menyisipkan
kalimat untuk meluruskan redaksi
di atas, sehingga
terjemahannya lebih kurang
berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia
tidak berpuasa), maka
(wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." Kalimat "lalu
ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya,
karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa
dalam perjalanan, sehingga
kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang
yang sakit tetapi tidak berpuasa.
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan
Zhahiriyah, sehingga dengan demikian buat mereka menjadi
wajib bagi orang yang
sakit dan dalam perjalanan untuk
tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain
seperti bunyi harfiah ayat di atas. Apakah membayar
puasa yang ditinggalkan itu
harus berturut-turut? Ada sebuah hadis tetapi dinilai lemah yang menyatakan demikian.
Tetapi ada riwayat lain melalui
Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat
puasa yang berbunyi
mutatabi'at, yang maksudnya memerintahkan penggantian
(qadha') itu harus
dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah
yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min ayyamin ukhar
mutatabi'at yang berarti
berurut atau bersinambung itu,
kemudian dihapus oleh Allah Swt.
Sehingga akhirnya ayat tersebut
tanpa kata ini,
sebagaimana yang tercantum dalam
Mushaf sekarang.
Meng-qadha' (mengganti) puasa,
apakah harus segera, dalam arti harus
dilakukannya pada awal
Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya
Ramadhan berikut? Hanya segelintir kecil
ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya
tidak mengharuskan ketergesaan
itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah,
bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah
ada kaffarat akibat keterlambatan
itu? Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di
samping berpuasa, ia harus
membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin;
sedangkan imam Abu Hanifah tidak
mewajibkan kaffarat dengan alasan
tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.
d. Wa 'alal
ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu
miskin (Dan wajib bagi orang yang berat
menjalankannya membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
Penggalan ayat ini
diperselisihkan maknanya oleh banyak
ulama tafsir. Ada yang
berpendapat bahwa pada mulanya Allah
Swt. memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau
berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini
berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni bagi
kedua kelompok ini
terdapat dua kemungkinan: musafir dan orang yang
merasa berat untuk
berpuasa, maka ketika itu
dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada
hakikatnya mampu berpuasa,
tetapi enggan karena kurang
sehat dan atau
dalam perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka
dengan syarat membayar fidyah.
Pendapat pendapat di atas
tidak populer di kalangan mayoritas
ulama. Mayoritas memahami
penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau
orang yang mempunyai
pekerjaan yang sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya,
sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka
dalam kondisi semacam
ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar
fidyah. Demikian juga halnya terhadap orang
yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh
dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan
penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau
menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
Wanita yang hamil dan
menyusui wajib membayar
fidyah dan mengganti puasanya
di hari lain,
seandainya yang mereka khawatirkan adalah janin atau
anaknya yang sedang
menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka
mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar
fidyah. Fidyah dimaksud adalah memberi
makan fakir/miskin setiap hari selama
ia tidak berpuasa.
Ada yang berpendapat
sebanyak setengah sha' (gantang)
atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga
yang menyatakan satu mud yakni sekitar
lima perenam liter,
dan ada lagi
yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.
e. Uhilla lakum
lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam
Ramadhan bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]: 187)
Ayat ini membolehkan hubungan
seks (bersebadan) di malam hari
bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di
siang hari Ramadhan, hubungan seks
tidak dibenarkan. Termasuk
dalam pengertian hubungan seks
adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa pun. Karena itu
walaupun ayat ini tak melarang ciuman,
atau pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal
tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan
diri, karena dapat
mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah r.a.,
Nabi Saw. pernah
mencium istrinya saat berpuasa.
Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berhubungan
seks, kemudian ternyata
"basah", maka
puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi
mayoritas ulama tidak mewajibkan
yang bersangkutan membayar kaffarat, kecuali
jika ia melakukan hubungan seks
(di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini
berdasarkan hadis Nabi adalah
berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka
ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang
miskin.
Bagi yang
melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum
terbitnya fajar. Ia hanya
berkewajiban mandi sebelum terbitnya
matahari --paling tidak dalam
batas waktu yang memungkinkan ia shalat
subuh dalam keadaan
suci pada waktunya. Demikian
pendapat mayoritas ulama.
f. Wakulu
wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi
minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih danbenang
hitam, yaitu fa jar).
Ayat ini membolehkan seseorang
untuk makan dan
minum (juga melakukan hubungan
seks) sampai terbitnya fajar. Pada
zaman Nabi, beberapa
saat sebelum fajar,
Bilal mengumandangkan azan, namun beliau
mengingatkan bahwa bukan itu
yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak
yang diadakan hanya
sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi melakukan
aktivitas yang terlarang. Namun
bila dilakukan, maka
dari segi hukum
masih dapat
dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu
subuh belum masuk). Perlu
dingatkan, bahwa hendaknya
kita jangan terlalu mengandalkan azan,
karena boleh jadi muazin
mengumandangkan azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena
itu sangat beralasan
untuk menghentikan aktivitas
tersebut saat imsak.
g. Tsumma
atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam).
Penggalan ayat ini datang setelah
ada izin
untuk makan dan minum sampai dengan datangnya fajar. Puasa dimulai
dengan terbitnya fajar,
dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan
oleh para ulama adalah pengertian
malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari
walaupun masih ada mega
merah, dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya
mega merah dan menyebarnya
kegelapan. Pendapat pertama
didukung oleh banyak hadis
Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan
dari lail yang diterjemahkan
"malam". Kata lail berarti "sesuatu yang gelap"
karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail. Pendapat pertama sejalan
juga dengan anjuran Nabi Saw. Untuk mempercepat berbuka
puasa, dan memperlambat sahur pendapat kedua sejalan
dengan sikap kehatian-hatian karena
khawatir magrib sebenarnya belum masuk. Demikian sedikit
dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang
berbicara tentang puasa Ramadhan.
TUJUAN BERPUASA
Secara jelas Al-Quran
menyatakan bahwa tujuan
puasa yang hendaknya diperjuangkan
adalah untuk mencapai ketakwaan atau la'allakum tattaqun. Dalam rangka
memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa
penjelasan dari Nabi Saw. misalnya,
"Banyak di antara
orang yang berpuasa
tidak memperoleh sesuatu daripuasanya,
kecuali rasa lapar
dan dahaga." Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar
dan dahaga bukan tujuan
utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firmannya bahwa "Allah
menghendaki untuk kamu
kemudahan bukan kesulitan."
Di sisi
lain, dalam sebuah
hadis qudsi, Allah berfirman,
"Semua amal putra-putri Adam
untuk dirinya, kecuali
puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran
atasnya."
Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu
ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa
puasa merupakan rahasia
antara Allah dan pelakunya
sendiri. Bukankah manusia
yang berpuasa dapat bersembunyi untuk
minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang
berpuasa, memiliki keinginan untuk
makan atau minum pada
saat-saat tertentu dari
siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan
diri dan keinginan itu? Tentu
bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia
dapat saja bersembunyi
dari pandangan mereka. Di
sini disimpulkan bahwa
orang yang berpuasa, melakukannya demi karena
Allah Swt. Demikian
antara lain penjelasan sementara
ulama tentang keunikan puasa dan
makna hadis qudsi di atas.
Sementara pakar ada yang
menegaskan bahwa puasa
dilakukan manusia dengan berbagai
motif, misalnya, protes,
turut belasungkawa,
penyucian diri, kesehatan,
dan sebagai-nya. Tetapi seorang
yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara
yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah
semata. Di sini Anda
boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan
manusia kepada takwa?" Untuk
menjawabnya terlebih dahulu harus
diketahui apa yang
dimaksud dengan takwa.
PUASA DAN TAKWA
Takwa terambil
dari akar kata
yang bermakna menghindar, menjauhi, atau
menjaga diri. Kalimat
perintah ittaqullah secara
harfiah berarti, "Hindarilah,
jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah" Makna ini
tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk
menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di
mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata
atau kalimat untuk meluruskan
maknanya. Misalnya kata
siksa atau yang semakna
dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari
siksa Allah.
Sebagaimana
kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
a.
Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap
hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti
misalnya, "Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit," "Tidak
mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api
panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
b.
Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap
hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang
dapat mengakibatkan siksa neraka.
Syaikh Muhammad Abduh menulis,
"Menghindari siksa atau hukuman Allah,
diperoleh dengan jalan
menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang
diperintahkannya. Hal ini dapat
terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa
(Allah Swt ). Rasa takut ini,
pada mulanya timbul karena
adanya siksaan, tetapi seharusnya
ia timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)." Dengan demikian
yang bertakwa adalah
orang yang merasakan kehadiran Allah
Swt. setiap saat, "bagaikan melihatnya atau kalau yang demikian tidak mampu
dicapainya, maka paling tidak, menyadari
bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah
hadis. Tentu banyak cara yang dapat dilakukan
untuk mencapai hal tersebut,
antara 1ain dengan
jalan berpuasa. Puasa seperti yang
dikemukakan di atas
adalah satu ibadah
yang unik. Keunikannya antara
lain karena ia
merupakan upaya manusia meneladani Allah Swt.
PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH
Beragama menurut
sementara pakar adalah
upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan
manusia sebagai makhluk. Nabi Saw.
memerintahkan,
"Takhallaqu bi akhlaq
Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah). Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan
beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan,
minum, dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya
antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri: Bagaimana Dia memiliki
anak, padahal Dia tidak memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)
Dengan berpuasa, manusia berupaya
dalam tahap awal dan minimal mencontohi
sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan
orang lain (ketika berbuka puasa),
dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada. Tentu saja
sifat-sifat Allah tidak terbatas
pada ketiga hal itu, tetapi mencakup
paling tidak sembilan
puluh sembilan sifat yang
kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan
kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi.
Misalnya Maha Pengasih
dan Penyayang, Mahadamai,
Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya
peneladanan ini dapat mengantarkan manusia
menghadirkan Tuhan dalam
kesadarannya, dan bila hal
itu berhasil dilakukan,
maka takwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai.
Karena itu, nilai
puasa ditentukan oleh
kadar pencapaian kesadaran tersebut --bukan
pada sisi lapar
dan dahaga sehingga dari
sini dapat dimengerti
mengapa Nabi Saw. menyatakan bahwa, Banyak orang yang berpuasa,
tetapi tidak memperoleh dari
puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.
PUASA UMAT TERDAHULU
Puasa telah
dilakukan oleh umat-umat
terdahulu. Kama kutiba 'alal ladzina min
qablikum (Sebagaimana diwajibkan
atas (umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para
ulama menyatakan bahwa
semua agama samawi,
sama dalam prinsip-prinsip pokok
akidah, syariat, serta akhlaknya.
Ini berarti bahwa semua agama samawi
mengajarkan kesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari
kemudian. Shalat, puasa, zakat dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai
pendekatan kepada Allah adalah
prinsip-prinsip syariat yang
dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu
saja cara dan
kaifiatnya dapat berbeda, namun
esensi dan tujuannya sama. Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi
kewajiban bagi umat islam dan umat-umat terdahulu.
Manusia memiliki
kebebasan bertindak memilih
dan memilah aktivitasnya, termasuk
dalam hal ini,
makan, minum, dan berhubungan seks.
Binatang khususnya
binatang-binatang tertentu tidak
demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga kebutuhan pokok
itu, sehingga misalnya ada waktu
atau musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi
memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.
Manusia sekali lagi tidak
demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat
menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya.
Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi
kadar yang diperlukan, bukan saja
menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau
minuman itu, tetapi
juga menyita aktivitas lainnya kalau
enggan berkata menjadikannya
lesu sepanjang hari. Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin
haus bagaikan penyakit eksim
semakin digaruk semakin nyaman
dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.
Potensi dan daya manusia betapa pun
besarnya memiliki keterbatasan,
sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan secara
berlebihan ke arah tertentu arah pemenuhan
kebutuhan faali misalnya
maka arah yang lain, mental spiritual akan terabaikan.
Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian. Sebagaimana disinggung di atas,
esensi puasa adalah
menahan atau mengendalikan diri.
Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun
kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa.
Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai
atau bodoh, untuk kepentingan
pribadi atau masyarakat. Tidak
heran jika puasa
telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam,
sebagaimana diinformasikan oleh
Al-Quran.
Dari penjelasan
ini, kita dapat
melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan
bentuk redaksi pasif dalam
menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush shiyama (diwajibkan
atas kamu puasa), tidak
menyebut siapa yang
mewajibkannya? Bisa saja dikatakan
bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian
jelas dalam hal ini
adalah Allah Swt.
Tetapi boleh jadi
juga untuk mengisyaratkan
bahwa seandainya pun
bukan Allah yang mewajibkan puasa,
maka manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya
sendiri. Terbukti motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang
selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata
atas dorongan ajaran agama.
Misalnya demi kesehatan,
atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula
kepentingan pengendalian diri
disadari oleh setiap makhluk yang
berakal? Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, Seandainya
umatku mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh
bulan menjadi Ramadhan.
KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN
Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang
puasa, Allah menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan
pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada
malam Qadar, Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailat
Al-Qadr. Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu, yang
menurut Al-Quran lebih
baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril)
silih berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga
terbitnya fajar. Di sisi lain sebagaimana disinggung pada awal uraian bahwa
dalam rangkaian ayat ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang mengandung pesan
tentang kedekatan Allah
Swt. Kepada hamba hambanya serta
janjinya untuk mengabulkan doa siapa pun yang dengan tulus berdoa. Dari hadis-hadis
Nabi diperoleh pula
penjelasan tentang
keistimewaan bulan suci
ini. Namun seandainya
tidak ada keistimewaan bagi
Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr,
maka hal itu pada hakikatnya telah cukup untuk
membahagiakan manusia.
artikel agan sangat mudah dipahami makasih atas apreasi dalam menulis postingan yang baik dan benar semoga jadi amal ibadah buat agan :D
BalasHapusyo dari Tutorial Blogger | SEO
Hehehe...terimakasih sudah berkunjung gan..
HapusSemoga bermanfaat