Suatu kajian yang menarik
pada era ini dalam dunia zakat adalah kajian zakat profesi. Kajian ini telah
menarik perhatian ulama serta para pakar Islam lainnya. Fiqh Zakat Profesi
merupakan tuntutan masyarakat modern yang hidup dalam tatanan masyarakat yang
berkembang serta sistem perekonomian yang telah demikian kompleks. Fenomena
yang menonjol dari dunia perekonomian modern adalah semakin kecilnya
orang-orang yang terlibat langsung dengan sektor produksi dan semakin
membesarnya sektor- sektor jasa.
Karena itulah gaji, upah,
intensif dan bonus merupakan variabel penting dalam pendapatan manusia modern
yang nilai kumulatifnya seringkali jauh melampaui nishab beberapa komoditas
yang tercantum dalam nash-nash hadist, seperti hasil pertanian. Pertanyaan
tentang keharusan serta jumlah pendapatan yang perlu dikeluarkan dalam upaya
pembersihan harta (tazkiyatul Maal) sering muncul dari para eksekutif yang
sedang bangkit ruh keislamannya.Suatu kajian yang menarik pada era ini dalam
dunia zakat adalah kajian zakat profesi. Kajian ini telah menarik perhatian
ulama serta para pakar Islam lainnya. Fiqh Zakat Profesi merupakan tuntutan
masyarakat modern yang hidup dalam tatanan masyarakat yang berkembang serta
sistem perekonomian yang telah demikian kompleks. Fenomena yang menonjol dari
dunia perekonomian modern adalah semakin kecilnya orang-orang yang terlibat
langsung dengan sektor produksi dan semakin membesarnya sektor- sektor jasa.
Agama Islam memberi
perhatian secara seimbang terhadap unsur materi dan unsur ruhi. Artinya kedua
unsur tersebut dalam daur kehidupan manusia, berhak memperoleh peran yang sama,
tanpa ada salah satu unsur yang melebihi atau mengurangi peran unsur lain.
Inilah salah satu bagian dari istimewanya ajaran islam; keselarasannya dengan
fitrah manusia. Secara fitrah, setiap manusia membutuhkan unsur materi dan
ruhi, dan keduanya itu diakui oleh Islam.
Agama islam menganjurkan
agar keduanya dapat diaplikasikan dalam timbangan yang sama dan sederajat,
hingga tak melahirkan kepincangan-kepincangan dalam bersikap. Kita dapat
melihat sisi keistimewaan tersebut, misalnya, pada perintah wajib zakat.
Perintah zakat, disamping mengandung dimensi materi, juga dimensi ruhi. Bila
zakat diterapkan secara benar dan menyeluruh, ia memiliki peran sangat esensial
dalam tarbiyah ruhiyah (pembinaan ruhiyah), yang selanjutnya akan
merealisasikan keadilan sosial dan melahirkan pertumbuhan ekonomi yang sehat
dan pesat, disamping semakin memantapkan kekuatan politik untuk ummat.
Hal lain yang tak kalah
penting, zakat memiliki saham besar dalam da'wah dan jihad yang mutlak
menghajatkan harta. Urgensi keterkaitan antara da'wah dan harta, tercermin
secara implisit dalam kitabullah. Al- Qur'an, tatkala menyebutkan batas
pengorbanan seorang muslim kepada Islam, umumnya kata "amwal" (harta)
selalu diiringi dengan kata "anfus" (jiwa). " Sesungguhnya Allah
telah membeli dari orang-orang mu'min, jiwa dan harta mereka dengan memberikan
syurga untuk mereka" (QS. at-
Taubah: 111). Dari sini, tampaknya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa zakat
merupakan sebuah kewajiban yang memiliki efek peran integral, meliputi
pembinaan pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan terwujudnya khilafah
sebagai sasaran akhir da'wah Islam.
Dari penjelasan di atas,
zakat kekayaan misalnya, bukan semata penyerahan sebagian harta dari kaum kaya
(aghniya ) kepada kaum miskin (mustahik ), tanpa meninggalkan kesan dan
pengaruh. Tetapi ia merupakan salah satu sarana tarbiyah (pembinaan) bagi kaum
muslimin. Disamping itu, tatkala diaplikasikan secara benar dan menyeluruh,
zakat , ternyata mampu menuangkan lukisan kondisi yang paling indah sepanjang
rentang sejarah. Ini terjadi pada era pemerintahan khalifah Umar bin Abdul
Aziz. Ketika melalui zakat, Allah SWT telah mencukupkan semua kebutuhan fuqara
dan masakin, melunasi hutang para gharimin, meratakan kesejahteraan dan hasil
zakat yang melimpah dan bila diperhatikan, memang banyak sekali sisi-sisi
tarbiyah yang diperoleh seorang muslim dengan menjalani perintah wajib zakat
harta. Di antaranya:
Zakat adalah ibadah
maaliyah ijtima'iyyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan
sangat menentukan ( Yusuf Qardhawi, 1993 ), baik dari sisi ajaran maupun dari
sisi pembangunan ekonomi ummat. Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk
salah satu rukun islam yang lima, sehingga keberadaannya dianggap sebagai
ma'lum min ad-dien bi adh-dharurah atau diketahui secara otomatis adanya dan
merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang. Dan zakat merupakan salah
satu bentuk ibadah kepada Allah.
Seseorang muslim yang
menunaikan zakat, adalah semata-mata didorong oleh keimanannya kepada Allah
dengan melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. Hal tersebut sama halnya
dengan keimanan mereka dalam menunaikan perintah wajib shalat, puasa dan haji.
Seorang muslim tidak menganggap bahwa harta yang ia serahkan itu sebagai harta
lebihan, harta sampingan dan sebagainya yang ia berikan kepada para fuqara dan
masakin. Tetapi di dorong oleh kewajiban yang Allah tetapkan atas dirinya pada
hartanya. Karena itulah, zakat ibarat proyek latihan bagi seorang muslim, dalam
menjalankan perintah Allah. Dalam Surat at-Taubah, Allah SWT menjelaskan bahwa
penunaian zakat merupakan pintu masuknya seseorang ke dalam Islam. " dan
bila mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka
itu) adalah saudaramu seagama…." (QS. At-Taubah: 11)
Zakat, juga bisa
dijadikan sebagai neraca, guna menimbang kekuatan iman seorang mu'min serta
tingkat kecintaannya yang tulus kepada Rabbul 'izzati. Sebagai tabi'atnya, jiwa
manusia senantiasa dihiasi oleh rasa cinta kepada harta, sebagaimana firman
Allah di dalam Surat Ali- Imran ayat: 14 ; "Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). "
Ketika seorang mu'min
menyerahkan hartanya semata-mata karena mengharap keridhaan Allah dan dilandasi
keimanannya atas mulkiyah Allah, maka hal tersebut praktis menjadi indikasi
kekuatan imannya. Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin, memaparkan
bahwa melalui zakat, Allah SWT menguji derajat keimanan seorang hamba yang
mencintai-Nya, melalui kesediaannya berpisah dengan sesuatu yang ia cintai demi
cintanya kepada Allah SWT. Ketika menyifatkan tingkat ibadah orang-orang
mu'minin yang bertaqwa, Allah menyebutkan bahwa sikap mereka diantaranya
menyisihkan harta mereka sebagai hak orang miskin. Disebutkan dalam surat
adz-Dzariyat ayat: 19 " Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang
miskin yang meminta dan orang miskin yang tak mendapat bagian (tidak
meminta)."
Begitu pula dalam surat
al-Mu'minun ayat: 1-4 ; "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman, yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, dan
orang-orang yang menunaikan zakat." Lebih tegas lagi, Rasulullah SAW
bersabda, " Sesungguhnya kesempurnaan Islam kalian adalah bila kalian
menunaikan zakat bagi harta kalian." (HR. Imam Bazzar). Selain itu zakat
juga akan membiasakan jiwa manusia mampu melepaskan diri dari jeratan hawa
nafsu dan sifat kikir, disebabkan cinta buta kepada harta. Dengan menunaikan
zakat kekayaan berarti seorang mu'min berhasil mengatasi dan menghinakan
kencenderungan hawa nafsunya, lalu meringankan tangannya mengeluarkan infaq fii
sabilillah. Orang-orang yang tak mampu melakukan hal tersebut, disebut sebagai
'abdul maal atau hamba harta. Rasulullah SAW bersabda, "Celakalah hamba
dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba sutera." (Muttafaq 'alaih).
Bila jiwa telah
dibersihkan dari kecenderungan yang berlebihan terhadap harta, maka seseorang
akan dapat menghirup kehidupan dengan penuh ketenangan, dan menyerahkan
ketaatannya secara mutlak kepada Allah SWT. Mereka adalah orang-orang yang
mendapat anugerah Allah berupa dilenyapkannya rasa khawatir dan dihilangkannya
rasa sedih, sebagaimana diungkapkan di dalam Al-Qur'an, "Orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
di nafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan orang yang menerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. " (QS. Al-Baqarah: 262)
Zakat, selain diwajibkan
atas harta yang dapat terlihat, dan bisa diketahui serta dihitung oleh selain
pemilik harta, juga wajib ditunaikan atas harta tersembunyi. Artinya yang tak
dapat diketahui dan terhitung, kecuali pemiliknya. Karena itu mungkin saja bagi
orang-orang yang lemah imannya akan menyembunyikan atau menutupi sebagian harta
yang mereka miliki, hingga tidak terhitung zakatnya. Namun, bagi seorang muslim
yang bertaqwa, yang keimanannya mengakar dalam jiwa, akan menyadari betapa
Allah SWT, Yang Maha Mengetahui pengkhianatan mata dan Yang Maha Mengetahui apa
yang tersembunyi di dalam hati, akan tetap berlaku benar. Meski tanpa adanya
pengawasan secara zahir, ia senantiasa merasa bahwa dirinya dan seluruh yang ia
miliki tak mungkin luput dari pengetahuan Allah SWT. "Kami akan memasang
timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang
sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti kami
mendatangkan (pahala) nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan
." (QS. Al- Anbiyaa: 47).
Dari sisi lain,
menunaikan zakat juga akan menanamkan rasa takut kepada Allah. Mengingatkan
jiwa akan saat tibanya hari perhitungan. Sebab dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Bukhari Dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda bahwa dua kaki seorang hamba
tidak akan melangkah pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang empat hal.
Diantaranya, tentang hartanya dari mana diperoleh dan ke mana dipergunakan.
Harta yang dimiliki, pada
hakikatnya adalah milik Allah SWT. Allah lah yang kemudian melimpahkan amanah
kepada para pemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkan zakatnya. Dan
disinilah mental sikap amanah dipupuk, sebab seorang muslim dituntut untuk
menyampaikan amanah kepada ahlinya. Sikap amanah, tidak hanya tumbuh dalam diri
orang yang berzakat, tetapi juga pada para petugas atau amil zakat. Yakni dalam
membagi dan menyalurkan seluruh harta zakat kepada yang berhak. Dahulu, dalam
hal operasional zakat, rasulullah SAW dan para sahabat r.a. menerapkan seleksi
ketat untuk memilih para amil zakat. Kriteria sifat standar yang dipegang
Rasulullah dan para sahabatnya, pertama adalah orang yang benar-benar memiliki
sifat amanah, mengerti permasalahan dan kehidupannya mencukupi. Rasulullah
bahkan memberi motivasi kepada para amil zakat dalam sabdanya, " Amil
shadaqah (zakat) yang melakukan tugasnya dengan dan ikhlas semata karena Allah,
ia laksana orang yang berperang di jalan Allah, sampai ia kembali lagi ke
rumahnya." (HR. Ahmad)
0 komentar "Zakat dan Pendidikan", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar
Kita adalah penjelajah,,tinggalkanlah jejak anda dimanapun anda kunjungi.
semoga bermanfaat