ZAKAT KONSEP HARTA YANG BERSIH

              Bicara  soal  zakat  dikaitkan  dengan  pemerataan  ada  kesan memaksakan diri, mangada-ada. Tapi, anehnya orang tak kunjung kapok menjadikannya sebagai  tema.  Seolah-olah  yang  penting bukan  kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi adanya kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata  zakat itu  sendiri.  Ibarat  figur, kata-kata zakat diyakini sebagai tokoh imam mahdi atau ratu adil yang meski  pun  sangat  sulit orang  mencernanya,  tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan, suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya diperlihatkan juga.
               Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan sekaligus, dengan konsep zakat bukan merupakan  hal  yang  tak masuk akal. Bahkan mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain (syahadat, shalat, puasa, juga haji) bukan  merupakan  perkara mustahil.  Misalnya  karena  kekhusyukannya  dalam  menunaikan shalat,  seseorang  yang   kebetulan   kaya   raya   tiba-tiba terpanggil  menginfakkan  seluruh  hartanya  untuk  menghidupi orang-orang miskin, orang  ini  terbuka  tabir  kerohaniannya. Tanpa  diduga-duga  orang  ini  tiba-tiba tersadarkan bahwa di alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau  hanya pas-pasan  saja,  yang  penting adalah keterpautan hati secara terus menerus  untuk  menyebut  nama-nama  Nya.  Ajaib  Tapi, bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.
               Masalahnya,  dengan  segala  ajarannya, Islam bukanlah sejenis halte tempat orang menunggu dengan  kepasifan,  di  mana  akan munculnya  momen-momen  ajaib  yang  lahir  atas campur tangan langsung Tuhan  seperti  digambarkan  di  atas.  Karena  Islam datang  sebagai  petunjuk  untuk  manusia  dan diterapkan oleh manusia dalam  kapasitas  kodratinya  yang  wajar-wajar  saja. Yakni  manusia  sebagai  makhluk  Tuhan  yang  memiliki segala
kemungkinan dan potensi kebaikan  maupun  keburukan,  kekuatan maupun  kelemahan.  Manusia  yang  bisa salah bisa benar, bisa baik bisa  jahat,  bisa  meng-iblis  tapi  juga  bisa  menjadi laiknya  malaikat.  Sementara  untuk  manusia yang luar biasa, manusia  yang  dengan  hak  prerogatif  Tuhan  hanya  memiliki kemungkinan  baik,  atau  hanya memiliki potensi buruk kalau saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam Islam  tak punya urusan.
               Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang normal atau yang  wajar,  Islam  tak  saja  harus  ma'qul (sensible),  tapi  sekaligus  juga ma'mul (applicable). Ma'qul artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang  ma'mul  artinya bisa  dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika  kesejarahan  hadir dalam  ujud  hal  yang bersifat empirik. Berbeda dengan logika teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif,  logika  empiris bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut ma'mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang bisa  dirancang,  dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa yang ma'qul  belum  tentu  matmul,  tapi  yang  ma'mul  secara implisit haruslah ma'qul.
               Kembali  pada  pokok  soal,  tentang  "pemerataaan" atau lebih mendasar  lagi  soal  "keadilan  sosial,"  orang   bisa   saja mengatakan  bahwa  semua  rukun  Islam  yang lima cukup ma'qul untuk  memecahkannya.  Tapi  dari  semua  yang   ma'qul   itu, satu-satunya  yang  sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga, yakni zakat.  Karena  seperti  halnya  tema  pemerataan,  atau keadilan   sosial,   yang   titik   berangkatnya  adalah  pada pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya rukun  Islam  yang  berkaitan langsung dengan persoalan materi itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zatnya.
               Lebih  dari  sekedar  meletakkan  soal  penguasaan sumber daya materi sebagai subyeknya, zakat berbeda dengan haji bahkan meletakkannya  sebagai  sesuatu  yang  harus diatur sedemikian rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk  hanya  pada  kalangan tertentu    (aghniya)    bisa    dihindarkan,   atau   ditekan serendah-rendahnya. Sasarannya bukan agar semua orang memiliki bagian  secara sama rata, rata sedikitnya atau banyaknya. Tapi agar tak terjadi suasana  ketimpangan,  dimana  sebagian  yang lain  hampir hampir  tak  memiliki  sama sekali. Sebab bermula dari ketimpangan dalam hal materi  (ekonomi),  ketimpangan  dibidang yang lain (politik dan budaya) hampir pasti selalu saja membuntuti.
               Maka  konsep  dasar  zakat  sebagai   mekanisme   redistribusi kekayaan  (materi) adalah pengalihan sebagian aset materi yang dimiliki  kalangan  kaya  (yang  memiliki  lebih   dari   yang diperlukan)  untuk  kemudian  didistribusikan pada mereka yang tak  punya  (fakir  miskin  dan  sejenisnya)  dan  kepentingan bersama.  Seyogyanyalah  pengalihan  itu dilaksanakan kalangan berada atas kesadaran  mereka  sendiri.  Tapi  karena  manusia mengidap  nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka kehadiran lembaga  yang  memiliki  kewenangan  memaksa  untuk  melakukan pengalihan  itu  pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang dalam realitas  sosiologis  memuncak  pada  apa  yang  dikenal dengan  negara  (state),  dari  sudut  moral  memang merupakan anomali. Tapi lembaga  anomali  tersebut  perlu  justru  untuk menjadi  penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia, yakni nafsu gila harta (keduniaan) tadi.
               Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara  moral hanya  bisa  dijustified  sepanjang  berfungsi  sebagai  racun penawar terhadap kerakusan duniawi  masyarakat  manusia  (yang kuat),  dalam  sejarahnya  justru  cenderung  memainkan  peran terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti  sistem hukum  dan  perundang-undangan)  maupun  yang  keras  (seperti satelit pengintai dan  senjata  rudalnya)  seringkali  menjadi alat  bagi  kepentingan  "penyakit  keduniaan" yang seharusnya dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti  apabila pernah  muncul  suatu  obsesi  dalam sejarah pemikiran manusia yang mengimpikan suatu zaman dimana apa yang  disebut  lembaga negara  itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa secara implisit ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx, 18  abad  kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya. Zaman idaman baginya adalah zaman ketika lembaga negara  telah lenyap berikut seluruh akar-akarnya.
               Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak sedikit banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan seperti  tersebut  di  atas. Bahkan dengan tarif begitu tinggi yang  disebut  dengan  pajak  progresif.  Tapi   persoalannya, setelah  pajak  yang  tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib pajak, apakah memang kemudian  ditasarufkan  untuk  mengangkat kehidupan  mereka  yang tak punya dan untuk kemaslahatan semua pihak? Inilah persoalan dasar, siapa  yang  sebenarnya  paling diuntungkan  oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara, atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?
               Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara yang  dikelola  secara  otoriter,  atau semi otoriter, seperti yang terjadi di banyak bumi belahan Timur, tapi juga  terhadap negara-negara  lain  yang  mengaku berjalan secara demokratis, seperti Amerika dan negara-negara  Barat.  Memang  lebih  gila lagi, secara lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut zaman  dulu.  Apabila  negara  di  zaman  modern  sudah  mulai melibatkan  rakyat  melalui  wakil-wakilnya  dalam  menentukan penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki absolut   memandang   kewenangan   pengalokasian   uang  pajak (upeti/tax) sepenuhnya di tangan sang raja saja.

               Tapi ya itu tadi, dengan  peranan  lembaga  perwakilan  rakyat dalam  tata kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang pajak akan ditasarufkan dengan prioritas utama bagi pembebasan rakyat  lemah.  Dimulai  dari  pembebasan  di  bidang ekonomi, kemudian menyusul  bidang-bidang  kehidupan  lain  yang  lebih sublim,   politik  dan  budaya.  Penjelasannya  sederhana,  di negara-negara Timur  yang  paternalistik,  keberadaan  lembaga perwakilan  rakyat  umumnya  hanya merupakan permainan politik kalangan elite penguasa. Lembaga  Perwakilan  Rakyat  hanyalah sekedar  "nama  dan  proforma".  Kesadaran dan perilaku mereka tetaplah  untuk  mengelabui  rakyat  bagi   kepentingan   para penguasa  yang  mengatur keberadaan mereka. Lembaga Perwakilan Rakyat  di  negara-negara  Timur  yang   paternalistik,   pada hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.
               Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi lembaga perwakilan rakyat dengan  penguasa  (baca:  eksekutif) memang  cukup  kuat.  Tapi  hal itu tetap bukan (belum?) dalam rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi kepentingan rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata. Berbeda dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi sepenuhuya  milik  penguasa  (kaum bangsawan, aristokrat, baik secara keturunan maupun SK jabatan  seperti  di  Timur).  Tapi juga  belum  berarti  telah  kembali pada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat keseluruhan yang  dimulai  dari  lapisannya  yang paling  jelata.  Di  Barat  negara dengan seluruh soko gurunya (eksekutif, legislatif  maupun  judikatif),  sudah  berada  di tangan  rakyat,  tapi  baru  yang  ada di lapisan menengah dan terutama lapisan atas. Mereka yang ada di lapisan bawah,  yang justru  merupakan pemilik utama sebutan "rakyat" kapan saja ia diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.
               Hal tersebut  dapat  dilihat  dengan  jelas,  misalnya,  dalam alokasi  penggunaan  dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang paling besar dari dana itu diperuntukkan untuk melindungi atau melayani  kepentingan  kelas  menengah ke atas. Apakah melalui sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi kepentingan  nasional  mereka, atau melalui sektor pembangunan sarana-sarana mana yang diperuntukkan utamanya  bagi  kalangan masyarakat  kelas  menengah  ke  atas. Berapa anggaran belanja yang  diperuntukkan  bagi  pembebasan  rakyat  (jelata),  sama sekali  tak  berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika yang pendapatan  perkapitanya  telah  mencapai  angka  8  ribu sampai  11 ribu dollar pertahun masih banyak warga negara yang tuna wisma (homeless) adalah bukti  yang  sangat  cukup  bahwa rakyat  jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki negara.
               Memang ada drama yang  menarik,  dan  bisa  mengelabui  banyak orang,  seolah negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah menempatkan dirinya di bawah kepentingan rakyat  sejati,  kaum lemah  dan  melarat.  Drama  itu  pementasannya  di masyarakat bangsa negara-negara Timur  yang  umumnya  miskin  dan  lemah. Setiap  kali  bencana  dan musibah terjadi di masyarakat dunia Timur, negara-negara Barat segera menunjukkan  kedermawanannya (charity).  Lebih  dari  itu, apabila negara-negara Timur yang miskin  itu  memerlukan   perbaikan   ekonomi,   mereka   siap menawarkan  bantuannya.  Baik yang berupa hibah (grant) maupun yang berupa pinjaman (loan).
               Akibat permainan drama kolosal ini, banyak  orang  terhegemoni untuk  meyakini  bahwa  Barat  memang  teladan  dunia;  sistem kenegaraan/pemerintahan   yang   liberal-kapitalistik   memang merupakan  pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal, jika dilihat sedikit lebih kritis, akan  segera  tampak  pada  kita bahwa  apa  yang  diperbuat  negara-negara Barat tetaplah demi kepentingan mereka sendiri, sama sekali bukan demi kepentingan rakyat  dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan mereka (negara-negara  Barat),  seperti  disebutkan  di  atas  adalah kepentingan  kelompok  yang  mengontrol  roda  kenegaraan atau pemerintahan, yakni kelompok orang-orang yang  secara  politik mengendalikan  jalannya  pemerintahan itu sendiri dan kalangan para kaya kapitalis, selaku cukongnya.
               Sampai titik ini  sebenarnya  telah  jelas  bagi  kita  bahwa, sekurang-kurangnya  dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat bukan sesuatu yang sama sekali asing dalam struktur  pemikiran kenegaraan,  lebih-lebih  kenegaraan  modern.  Dengan  pranata pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat  harus  menanggung  beban) sudah  banyak  dilaksanakan  oleh hampir semua negara di jaman ini, bahkan dalam tarif yang begitu tinggi. Hanya  masalahnya, bahwa  beban  yang  ditimpakan kepada mereka yang punya, yakni beban pajak, ternyata  digelapkan  oleh  negara  sehingga  tak sampai  ke  alamat  (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timur yang feodalistik, dana pajak yang dikenakan  atas  orang-orang kaya   dibelokkan   pentasarufannya   untuk  kepentingan  para penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat yang   liberal-kapitalistik,   dana   pajak   yang  semestinya diprioritaskan pentasarufannya untuk  memperkuat  yang  lemah, diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan mereka yang sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan  tentu  saja  para  elite politik sebagai pengawal kepentingan-kepentingannya.
               Dengan  kata  lain  persoalan  pokok  dalam topik redistribusi kekayaan  (asset)  untuk  pemerataan,  dan  kemudian  keadilan sosial  dalam  tatarannya  yang  lebih  luas, agaknya tak lagi terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak ada   masalah   sama  sekali.  Nafsu  kerakusan  mereka  untuk mengakumulasikan kekayaan lebih banyak dan lebih banyak  lagi, jelas   merupakan   persoalan   yang  tetap  serius  bagi  ide pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa  dalam  kerakusannya mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari kekayaannya (berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan  pokok tak lagi sepenuhnya di tangan mereka. Persoalan pokok itu kini jelas terutama ada  di  pihak  apa  yang  kita  sebut  lembaga negara.   Karena   dia   (lembaga   negara)-lah  yang  berbuat selingkuh. So, what?
               Menuruti obsesi Marx bahwa  lembaga  negara  mesti  dienyahkan atau  pengingkaran  Isa  as. terhadap lembaga itu rasa-rasanya tak realistik. Negara, apalagi  dalam  pengertian  yang  lebih luas   sebagai   lembaga  permufakatan  kolektif,  betapa  pun konyolnya  tidaklah  mungkin  dihindari.  Mengingkari  lembaga negara untuk semangat (ruh) kolektivitas manusia hukumnya samabelaka  dengan  mengingkari  badan  bagi  ruh   individualitas manusia.  Seperti  halnya  badan (kecil), negara sebagai badan besar pun mengidap  nafsu-nafsu  (interests)  negatif  duniawi yang   selalu   cenderung   memperalat  dirinya.  Tapi  dengan bercokolnya  nafsu-nafsu  itu  pada  badan,  tak  seorang  pun kecuali  langka,  kalau  pun  ada yang pernah menyarankan jalan  keluar  agar  badan  itu  dimusnahkan   saja   daripada diperalat  oleh  nafsu-nafsu negatif yang melekat padanya Yang paling  sehat  dan  fitri  (Islami)  tentulah  pendirian  yang mengatakan,  "Biarlah  badan  itu  tetap ada dan tumbuh dengan kewajarannya. Tapi dengan pengawasan atau kontrol  yang  terus menerus  jangan  sampai  jatuh  dan diperalat oleh nafsu-nafsu jahat yang mengitarinya."
               Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan  umat  manusia tak  perlu  menyatakan  penolakan  terhadap keberadaan lembaga negara. Bahkan  beliau  sendiri  dengan  komunitasnya,  dengan sadar  telah  membangun  lembaga  itu.  Tapi  inilah kuncinya, lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh, dengan  meyakinkan  masyarakat  akan pentingnya kontrol sosial (amar  ma'ruf  nahi  munkar)  secara   terus   menerus,   agar keberadaan  lembaga  negara itu tetap sebagai alat, bukan bagi kepentingan  penguasa  atau  kalangan  kaya,  melainkan   bagi kepentingan  seluruh  rakyat  yang ada dalam otoritasnya. Dari sudut  konsepsi  zakat,  kedudukan   negara   atau   kekuasaan pemerintahan  adalah  amil  yang  harus  melayani  kepentingan segenap rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan  dan kesejahteraan) bagi semuanya.
               Memang  untuk  menegakkan  keadilan  sosial dalam semangat dan kerangka  zakat,  ada  pekerjaan   rumah   yang   harus diselesaikan  lebih dahulu. Konsepsi tentang ajaran zakat (dan pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara  keseluruhan)  yang sudah  terlanjur  mendogma  di kalangan umat selama lebih dari sepuluh  abad,  harus   ditransformasikan   terlebih   dahulu. Pekerjaan  ini berat dan memakan waktu. Sebagian orang mungkin merasa lebih aman dalam dekapan  dogma  lama  ketimbang  harus berspekulasi  dengan  pamahaman ajaran yang baru. Tapi tanpa keberanian moral dan  intelektual  untuk  melakukan  perubahan itu,  maka  pengkaitan  ajaran  Zakat  dengan cita pemerataan, apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.



0 komentar "ZAKAT KONSEP HARTA YANG BERSIH", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar

Kita adalah penjelajah,,tinggalkanlah jejak anda dimanapun anda kunjungi.
semoga bermanfaat