Perkembangan
Ilmu Gulma
A. Sejarah Awal Perkembangan
Ilmu Gulma
GULMA menjadi masalah sejak
manusia mengusahakan pertanian. Gulma menyebabkan gangguan dan kerugian pada
tanaman budidaya seperti halnya hama dan penyakit, namun gangguan akibat gulma timbulnya
sedikit demi sedikit, tidak drastis atau spektakuler. Menurut Singh et al. (2005) upaya pengendalian gulma pada
sistem produksi tanaman telah dilakukan oleh manusia seumur perkembangan
pertanian itu sendiri. Perkembangan usaha pengendalian gulma
pada
pertanaman yang telah dilakukan oleh manusia disajikan pada Tabel 2.1.
Tabel
2.1. Sejarah metode pengendalian gulma
Periode Waktu
|
Metode Pengendalian Gulma
|
Input Energi
|
|
15
000-10 000 SM
|
Manual
|
Manusia
Neolitik
|
|
6
000 SM
|
Peralatan
tangan dengan tongkat kasar
|
Manusia
|
|
3
000 SM
|
Sabit
tangan
|
Manusia
|
|
1
200 SM
|
Garam
dan abu
|
Kimia
|
|
1
000 SM
|
Tenaga
binatang
|
Manusia
dan binatang
|
|
950
SM
|
Pembakaran
|
Manusia
|
|
1
000 -1300 M
|
Rotasi
tanaman
|
Kultur
teknis
|
|
1730-an
|
Tanaman
baris, cangkul
|
Manusia
dan binatang
|
|
1896-1920
|
Penggunaan
garam seperti Tembaga Sulfat, Besi Sulfat, Asam Sulfat, arsenik,d an Petroleum
|
Manusia,binatang,
kimia terbatas
|
|
1890
|
Tembaga
sulfat
|
Kimia
|
|
1896
|
Bubur
Bordeaux
|
Kimia
|
|
1896
|
Besi
Sulfat
|
Kimia
|
|
1899
|
Papan
pemotong untuk memotong gulma air
|
Mekanik
|
|
1902
|
Penggunaan
serangga (untuk Lantana)
|
Biologi
|
|
1920-an
|
Penggunaan
mesin
|
Mekanis
|
|
1940-an
|
Penggunaan
kimia sintetik, terutama hormon dan organik
|
Kimia
|
|
1980-an
|
Integrated
Weed Management
|
Kimia,
mekamis, biologis, kultur teknis
|
|
Sejak
1990-an
|
Teknologi
pertanian mutakhir,bioteknologi, pilihan alternatif seperti mengurangi input
herbisida, pengembangan kultivar tahan (HRC, alelopati, dll)
|
Inovasi
kimia, mekanis, biologis, dan kultur teknis
|
|
Sumber
: Singh et al(2005).
Sebelum herbisida sintesis
diintroduksi, gulma dikelola dengan pengolahan tanah, dengan metode manual
(mencabut dan mencangkul), kimia anorganik, dan strategi kultur teknis seperti
rotasi tanaman. Gulma mendapat perhatian lebih besar di bidang fisiologi
tumbuhan, sejak ditemukannya 2,4-D (asam 2,4-diklorofenoksiasetat) pada tahun
1940-an sebagai herbisida. Sebelum herbisida sintetis ditemukan pada tahun
1940-an, tidak ada pembagian disiplin ilmu gulma.
Manajemen
gulma dijadikan sebagai subdisiplin agronomi, dan sangat sedikit ilmuwan yang melakukan
penelitian pada gulma dan pengendaliannya. Penemuan 2,4-D sebagai zat pengatur
tumbuh (Zimmerman and Hitchock, 1942) dan catatan penggunaannya sebagai
herbisida selektif (Hamner dan Tukey, 1944; Marth and Mitchell, 1944) telah
mengawali proses penemuan dan komersialisasi herbisida sintetik baru yang
memberikan dorongan terhadap ilmu gulma untuk menjadi disiplin tersendiri.
Sukses 2,4-D mendorongupaya penemuan herbisida baru secara luas oleh beberapa
perusahaan kimia.
Sejarah Penemuan 2,4-D
Pada akhir abad 19, ketika
garam NaCl dan abu digunakan untuk mengendalikan gulma sepanjang pinggir jalan,
herbisida selektif inorganik telah ditemukan dengan kebetulan di Perancis.
Beberapa petani Perancis menyemprotkan bubur Bourdeaux untuk mengendalikan penyakit
embun tepung (downy mildew) pada pertanaman anggur dan mereka mengamati
bahwabeberapa driftyang jatuh dari larutan tersebut dapat membunuh gulma
berdaun lebar yang ada di bawahnya. Akhirnya, komponen tembaga sulfat dalam bubur Bordeaux ditemukan sebagai agen
pembunuh gulma. Penelitian percobaan yang dilakukan di Perancis, Jerman, dan
Amerika menghasilkan kesimpulan bahwa CuSO4 yang dapat digunakan sebagai
herbisida selektif inorganik untuk mengendalikan gulma gandum, barley, dan oat.
Herbisida populer yang digunakan selama 1896-1910 adalah asam sulfat, besi
sulfat, tembaga nitrat. Dari tahun 1930-1940, herbisida selektif baik organik
maupun anorganik mulai digunakan. Senyawa boron, amonium sulfat, sodium
chlorat, carbon bisulfit, sodium arsenit, dinitrophenol digunakan dalam area
terbatas di Amerika dan Eropa.Terobosan nyata dalam pengendalian gulma dengan
senyawa kimia selektif dihasilkan pada tahun 1945 dengan pengumuman
secarasimultan penemuan 2,4-D di Amerika dan MCPA di Inggris.
Pada tahun 1935 di Amerika, Zimmerman dan Wilcoxson
melaporkan bahwa phenilacetic
aciddan naphthyl acetic acid(NAA)
mencegah buah muda gugur, menginduksi perakaran, mempercepat pemasakan buah,
dan menyebabkan tomat tanpa biji. Pada tahun 1941 di Inggris, ketika pelaksanaan
penelitian pot pada pengaruh NAAsebagai zat pengatur tumbuh tanaman pada
gandum, W.G. Templeman mendapatkan peluang bahwa NAA membunuh sedikit tanaman
kubis liar (Brassica kaber) yang tumbuh sebagai gulma di pot gandum. Hal ini
mendorong Templeman dan W.A Sexton pada Stasiun Penelitian Jealotts Hill untuk
mencaribeberapa zat pengatur tumbuh yang lebih potensial daripada NAA untuk
pengendalian gulma berdaun lebar pada biji kecil. Hasil elaborasi penelitian
akhirnya menghasilkan bahwa 2,4-D dan MCPA merupakan zat pengatur tumbuh yang
potensial sebagai herbisida (Gupta, 2000).
Pada tahun 1941 di Amerika Serikat,
Pokorny untuk pertama kalinya
mensintesis 2,4-dichloroacetic acid (2,4-D) dan 2,4,5-trichloroacetic acid
(2,4,5-T). Tujuan Pokorny adalah untuk mempelajari pengaruh 2,4-D dan 2,4,5-T
pada cendawan penyakit untuk mendapatkan fungisida baru (Pokorny, 1941). Pada tahun 1942, Zimmerman
dan Hichkock menyimpulkan bahwa 2,4-D adalah zat pengatur tumbuh yang efektif pada
produksi tomat tanpa biji (Zimmerman dan Hichkock, 1942). Pada komunitas ilmuan
sipil, penemuan 2,4-D sebagai herbisida untuk proteksi tanaman merupakan
kebetulan saja. Penghargaan introduksi 2,4-D sebagai herbisida diberikan kepada
Marth dan Mitchell dari USA yang pada tahun 1944 melaporkan pengendalian gulma
secara selektif dengan 2,4-D pada lapangan rumput bluegrass(Marth dan Mitchell, 1944) dan
Hammer dan Tukey juga dari Amerika yang pada tahun yang sama menggunakan
2,4-Dsecara sukses mengendalikan gulma di lapangan (Hammer dan Tukey, 1944).
Jadi, penggunaan 2,4-D sebagai herbisida untuk mengendalikan gulma merupakan
terobosan teknologi yang mengemborkan era modern pengendaliangulma. Ilmuwan
militer melakukan penelitian yang sama pada zat pengatur tumbuh tanaman tetapi
dengan tujuan yang berbeda. Selama Perang Dunia II, Amerika dan Inggris
mempunyai proyek perang biologi kimia dengan menggunakan zat pengatur tumbuh
tanaman untuk membunuh tanaman dengan tujuan untuk mengurangi persediaan pangan
musuh.
Pada tahun 1936di Universitas
Chicago, Kraus telah melakukan observasi bahwa beberapa zat pengatur tumbuh tanaman memiliki efek toksik
terhadap tanaman. Kraus mengusulkan untuk melakukan penelitian tersebut secara
mendalam untuk membunuh vegetasi. Mr.
H.L. Stimson, Sekretaris Bidang Militer pada saat itu, berdiskusi dengan Kraus dan ilmuwan lainnya
untuk menyusun proyek yang bertujuan untuk mendapatkan bahan kimia yang dapat
membunuh tanaman. Proyek tersebut diinisiasi dan dilaksanakan pada tahun 1942 di
Detrick Station, Maryland State.
Tujuan utama projek tersebut
adalah untuk mendapatkan bahan kimia yang dapat membunuh tanaman padi dan
tanaman lainnya untuk menguras persediaan pangan Jepang. Pada tahun 1944,
proyek senjata kimia ini berhasil.Sejumlah besar 2,4-D dan 2,4,5-T disintesis
dan disemprotkan dalam skala luas untuk mengujinya yang dilakukan dengan
pesawat. Tujuan lain dari penggunaan herbisida tersebut adalah sebagai peluruh
daun yang menyebabkan daun gugur tanaman hutan untuk membuka tempat pertahanan
tentara Jepang. Namun setelah diskusi antara Presiden Amerika D. Roosevelt dan
Jendral William, Chief Representatif Gedung Putih, mereka memutuskan tidak
menggunakan bahan kimia tersebut dalam perang melawan Jepang.
Pada akhir tahun 1950-an,
setelah sukses Inggris dalam penggunaan 2,4,5-T untuk menghancurkan tanaman di
Malaya, Departemen Pertahanan menunjuk Agen Proyek Penelitian Lanjutan untuk
melakukan penelitian dan pengembangan herbisida untuk kepentingan militer. Uji
pada skalaluas pada Agen Purple dilakukan secara sukses pada Drum Station (New
York) pada tahun 1959 dan model tersebut diaplikasikan di Vietnam beberapa
tahun kemudian (Wrigth Air Development Center, 1951). Pada 20 November 1961,
Presiden Amerika John F. Kenedy menyetujui rencana militer Amerika menggunakan
aktivitas peluruh daun pada hutan Vietnam (NSAM, 1961). Politisi dan militer
Amerika berargumen bahwa Agen Orange digunakan karena mereka dapat membersihkan
hutan, membuka tempat persembunyian pejuang revolusioner Vietnam sehingga
tentara dapat memotong sumber penyediaan dari Utara sampai Truong Son dengan bombardir dari udara. Bahan
kimia tersebut ditransportasikan menuju Vietnam Selatan dari Agustus sampai
Desember 1961.
Sebelum aplikasi di Vietnam, ilmuwan militer
Amerika telah mengetahui pasti bahwa Agen Orange adalah bahan yang sangat
toksik karena mengandung kontaminan dioksin pada saat pembuatan di pabrik. Dioksin adalah grup beberapa molekul
diantaranya 75 polychlorinated dibenzo-p-dioksin dan 135 polychlorinated
dibenzo-p-furans. Diantara grup tersebut, molekul yang paling toksik adalah
2,3,7,8 tetrachlorodibenzo-p-dioksin
(2,3,7,8 TCDD). Di Vietnam, bahan kimia tersebut dikirim ke Pemerintah
Vietnam Selatan saat itu dalam drum
berkode warna, setiap drum 250 liter. Ada Agen Orange (50% 2,4-D + 50% 2,4,5-T),
Agen White (80% 2,4-D + 20% pichloram), Agen Blue (cacodylic acid), Agen Pink,
Agen Green, dan Agen Purple. Sebagian besar bahan kimia terebut memiliki
senyawa utama yaitu 2,4,5-T. Jumlah dioksin bervariasi dari herbisida ke
herbisida lainnya. Agen Pink mengandung 45 ppm dioksin sementara Agen Orange
mengandung 13 ppm.
Program penyemprotan defolian
di Vietnam diberi nama “Operation Trail Dust”. Ada beberapa operasi dibawah
operasi ini, diantaranya “Operation Ranch Hand” adalah kampanye paling luas dan
lama, dengan 95% bahan kimia
disemprotkan dibawah operasi tersebut. Sejak tahun 1962 Angkatan Udara Amerika memulai
menyemprotkan herbisida dalam skalaluas di bagian Selatan dan Tengah di Vietnam
Selatan. Sebagian besar (90%)Agen Orange disemprotkan dari udara secara blanket
dengan pesawat C123 dan sisanya (10%) dengan helikopter, dan truck. Operasi ini
diminta dihentikan oleh Presiden Richard Nixon pada bulan Juli 1971 (Memo,
1971) setelah resolusi Majelis Umum PBB yang menyatakan bahwa Operation Ranch Handadalah
ilegal. Amerika menghancurkan 14% areal hutan di Vietnam Selatan dalam kurun
sembilan tahun.
2,4-D
sebagai Senjata Perang Biologi
Pengembangan herbisida organik telah
difasilitasi secara besar selama Perang
Dunia II karena potensi militernya sebagai senjata biologi (Peterson, 1967).
Setelah perang, program Camp Detrick diperluas sampai meliputi berbagai tipe
respon pertumbuhan di dalam tanaman. Sintesis dan pemilihan (screening)
dilanjutkan dan pengembangan prosedur untuk mengujiaktivitas herbisida
ditingkatkan. Penelitian Camp Detrick didukung oleh kontrak dengan universitas
dan penelitian diinisiasi pada absisik dan giberelin. Pengguguran daun dan uji
pelayuan daun untuk tanaman berkayu dilakukan selama periode 1961 -1972 dibawah
pengawasan C.E. Minarik yang mendorong penggunaan secara militer Agen Orange di
Vietnam (Davis, 1979). Semua aktivitas penelitian biologi dihentikan tahun
1972, diikuti deklarasi oleh Presiden Richard Nixon bahwa Amerika tidak akan
melakukan penelitian perang biologi atau mengembangkan senjata biologi.
Agent
Orange
Herbisida phenoxy mendapat publikasi yang
terkenalketika ”Agent Orange” digunakan oleh tentara Amerika selama perang
Indochina kedua sebagai penggugur hutan untuk mencari pejuang gerilya dari persembunyiannya. Agen Orange adalah campuran
antara 2,4-D dengan 2,4,5-T dengan
perbandingan 1:1 dan dimasukkan ke dalam drum diberi strip orange. Di Vietnam,
aplikasi secara militer dibuat pada dosis 3 galon per acre yang mengandung
kira-kira 12 pound 2,4-D dan 13.8 pound 2,4,5-T, yang kurang lebih 25 kali
dosis yang digunakan di pertanian. Operasi ”neraka” menyemprotkan sekitar 19
juta gallon defolian pada sekitar 6 juta acre hutan di Vietnam antara tahun
1962 sampai dengan 1966. Selain Agent Orange, Agen Blue (cacodylic acid), Agent
White (campuran 2,4-D dengan picloram dengan perbandingan 4:1), malathiondan
lainnya juga digunakan pada perang. Penggunaan agen orange yang berlebihan dan
tanpa pandang bulu menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan pada orangVietnam dan
veteran perang Amerika. Agen Orange ditemukan mengandung kontaminasi racun
dioxin yang bertanggunjawab terhadap pengaruh yang merugikan. Dioxin yang ada
di dalam Agen Orange terutama adalah
2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxinatau TCDD, yang sangat toksik dan persisten di
lingkungan selama bertahun-tahun. Jutaan orang Vietnam terekspos oleh agen
orange selama perang. Diperkirakan sampai sekarang jutaan orang memiliki
problem cacatatau problem kesehatan lainnya yang terkait dengan Agen Orange.
Pengembangan
2,4-D secara Komersial sebagai Herbisida
Ilmuwan di Amerika Serikat
(Marth dan Mitchel, 1944; Zimmerman dan Hitchcock, 1942) dan ilmuwan Inggris
(Blackman, 1945; Slade et al, 1945)
melanjutkan pekerjaan penelitian terbatas dengan 2,4-D selama Perang Dunia II.
Penelitian di Inggris difokuskan pada pengembangan MCPA, yaitu herbisida mirip 2,4-D. MCPA
disenangi di Inggris karena ketersediaan kresol yang melimpah yang diekstrak
dari batubara dan digunakanuntuk membuat MCPA versus ketersediaan phenol yang melimpah
dari kilang minyak di Amerika, yang digunakan untuk membuat 2,4-D. Pada bulan
Juni 1994, Mitchell dan Hamner dengan United States Department of Agriculture
(USDA) Biro Industri Tanaman di Beltsville, Maryland telah membuat pengumuman
publikasi yang pertama tentang penggunaan 2,4-D sebagai herbisida yang
menghambat pertumbuhan gulma (Marth dan
Mitchell, 1944). Hamner dan Tukey (1944)menyebabkan pertimbangan publik
tertarik ketika mereka melaporkan pada tahun 1944 bahwa dalam 10 hari setelah
semprot dengan 2,4-D gulma mati. Peneliti Inggris sudah bekerja dengan MCPA,
2,4-D, dan zat pengatur tumbuhlain selama awal tahun 1940 tetapi menunda
publikasi hasil penelitiannya sampai setelah Perang Dunia II (Blackman, 1945;
Slade et al.,1945).
Marth dan Mitchel (1944)
menyemprotkan 2,4-D pada lapangan rumput
yang ditumbuhi gulma dandelion pada Beltsville, Maryland dan mendapatkan
pengendalian gulma daun lebar secara selektive dengan tanpa kerusakan terhadap
lapangan rumputnya. Mitchell et al. (1944) kemudian melakukan penelitian tambahan
pada lapangan golf dan melaporkan bahwa terdapat pengendalian gulma daun lebar
secara selektif.
Singkatan populer 2,4-D pertama
kali terlihat di dalam literatur tahun 1945 selama pertemuan tahunan kedua
NCWCC (North CentralWeed Control Conference) di St. Paul, Minnesota (Timmons,
1945).Data dari 30 cooperators dengan
140 penelitian yang dilaksanakan di Amerika
Serikat dan 36 penelitian yang dilaksanakan di Canada telah dilaporkan.
Paten asli 2,4-D dan senyawa
turunannya (US Patent Number 2,322,761)
adalah sebagai zat pengatur tumbuh oleh John F. Lontz dan ditetapkan untuk E.I.
du Pont de Nemours and Company tertanggal 29 Juni 1943 (Peterson, 1967).
Franklin D. Jones dengan perusahaan Cat Kimia Amerika (ACPC) mencatat pada
tanggal 20 Maret 1944 dan mendapatkan penggunaan paten 2,390,941 pada bulan
Desember 1945 untuk 2,4-D sebagai herbisida. Pada bulan Juni 1945, ACPC
memasarkan 2,4-D dengan nama dagang ”Weedone”, yangmerupakan herbisida sistemik
selektive pertama yang diproduksi dan terjual pada skala komersial.
Studi Toksisitas 2,4-D
Mitchell et al (1946)
melaporkan bahwa perlakuan pada padang rumput dengan 2,4-D dengan duakali dosis
normal tidak menyebabkan efek toksik pada domba dan sapi yang memakan rumput
pakan tersebut, dan memberikan pakan
pada sapi 5.5 gram 2,4-D murni per hari selama 3 bulan tidak menyebabkan efek
terhadap sapi atau susunya. Kraus mengumumkan bahwadia sudah memakan 0.5 gram
2,4-D per hari selama 3 minggu dan tidak ada pengaruhnya (Kephart, 1945).
B. Kecenderungan dalam Ilmu
Gulma di abad ke- 21
1. Peningkatan penggunaan Benih
Padi dengan SistemTebar Langsung
Bangsa Asia mulai mengalami
proses perubahan dalam sistem pertanaman
karena semakin terbatasnya jumlah tenaga kerja untuk menyiangi gulma.
Meningkatnya upah buruh telah menyebabkan perubahansistem pertanaman dari
transplanting menjadi sistem tanam langsung di beberapa negara di Asia Tenggara
yang memiliki jumlah populasi penduduk sedikit dan upah buruh meningkat. Pergantian sistem ini
berakibat buruk dan menyebabkan terjadinya masalah gulma.
Echinochloa spp. termasuk gulma tanaman padi dan
tergolong ke dalam millenial weedpada tanaman padi yang tidak mempengaruhi
sistem pertanaman di seluruh dunia. Gulma ini tidak selalu menjadi masalah. Tanaman
padi yang banyak ditumbuhi oleh gulma akan menyebabkan lebih banyak masalah ketika dilakukan sistem tanam
langsung dalam hubungannya dengan genetik, morfologi, dan kesamaan fenologi
dengan padi lokal dan juga karakteristiknya yang mudah tersebar atau pun
dormansinya. Terdapat potensi yang besar dalam hal sistem tanam langsung, namun
tidak untuk saat ini khususnya pada negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang
memiliki masalah jumlah penduduk yang
sedikit dan upah buruh mahal.
2. Meningkatnya Penggunaan
Herbisida dan Kebutuhanakan Herbisida dengan Wacana Baru
Meskipun penyiangan secara
manual adalah metode yang paling umum dikenal dalam usaha pengendalian gulma di
kawasan ini, penggunaan herbisida tetap menjadi komponen penting dalam usaha
pengendalian gulma. Penggunaan herbisida terus meningkat di beberapa negara di
Asia. Hal tersebut disebabkan oleh adanya penggunaan varietas tanaman pangan
yangberdaya hasil tinggi sehingga mendorong insentif secara ekonomi dengan cara
mengurangi jumlah gulma yang ada dan tersedianya herbisida yang murahharganya.
Penggunaan herbisida yang semakin meningkat pada tanaman padi sawah ternyata
lebih murah 1-5 kalinya daripada ketika dilakukan penyiangan secara manual (di
Illoilo-Filipina, Jawa Barat-Indonesia, dan Delta sungai Mekong-Vietnam).
Penggunaan herbisida akan terus
meningkat di negara-negara dimana harga herbisida tersebut sangat murah. Hal
ini menyebabkan sekitar 20 spesies gulma menjadi resistan terhadap bahan aktif
Sulfonil Ureayang terdapat dalam sebagian besar herbisida yang dijual di
pasaran. Biotipe gulma yang tahan herbisida akan terus meningkat apabila hal
ini terus dibiarkan. Propanil, 2,4-D, dan Butachlor adalah beberapa bahan aktif
yang mulai menyebabkan resistensi gulma ini terjadi.
Wacana baru tentang herbisida
sangat penting untukmemerangi evolusi resistansi gulma pada herbisida yang ada
saat ini. Herbisida baru yang terus
dikembangkan antara lain: geranil, glutamat dehidrogenase, auksin transport,
glutatione transferases (GTS), dan sitokrom P450 monooxygenases (P450s).
3. Kebutuhan yang
mendesak untuk Mengurangi Resiko dari Penggunaan Herbisida pada Ekosistem
Herbisida yang digunakan saat
ini aman tidak berbahaya terhadap manusia dan hewan ternak, apabila
pengunaannya tepat. Di sebagian kecil negara di kawasan Asia, penggunaan
sulfonil urea yang dicampur dengan herbisida lain digunakan untuk mengatasi
penyebaran yang luas darigulma. Dosis sulfonil urea yang digunakan jauh lebih
kecil dari kebanyakan herbisida tahunan lainnya, dan bahan aktif ini terus
digunakan sebagai herbisida untuk membasmi gulma tanaman padi selama beberapa
dekade ini. Bagaimanapun juga tetap ada tekanan untuk mengurangi resistensi
gulma terhadap herbisida ini, karena terdapat efek residu yang memusnahkan
tanaman lain, termasuk gulma Brasenia
schreberidan Sagittaria aginashi.
Penggunaan sulfonil urea yang terus menerus akan menyebabkan terjadinya
keragaman gulma.
Lebih dari 600 000 juta dolar
telah dihabiskan untuk memulihkan kondisi air yang tercemar oleh molinate dan thiobencarb
di areal pertanaman padi di daerah
California. Hal ini tentu saja mengejutkan masyarakat di Asia, karena sistem
tanam padi berhubungan langsung dengan budidaya ikan. Selain itu air irigasi
juga digunakan masyarakat untuk keperluan lain.
C. Pemanfaatan Bioteknologi
dalam Ilmu Gulma
Biotenologi merupakan alat yang
sangat penting dalam ilmu gulma yang telah digunakan untuk mengembangkan
tanaman toleranherbisida. Usaha lebih lanjut dalam rangka mengubah tanaman
pertanian dengan sifat atau ciri agronomi, seperti tahan herbisida atau tahan
serangan serangga diharapkan sudah dapat dikuasai dalam kurun waktu 2 atau 3
tahun mendatang. Produksi tanaman hasil bioteknologi pada masa depan akan
berkonsentrasi pada sifat dan ciri yang nampak pada hasil pertaniannya, seperti
kualitas pangan, produksi zat-zat yang berkhasiat obat, dan produksi bahan
kimia khusus, seperti plastik. Sejumlah besar gulma dapat digunakan untuk
mencapai tujuan ini, apalagi masih banyak spesies gulma yang masih belum
diteliti lebih dalam. Kemampuan kompetisi dari gulma C4, dormansi,
produktivitas benih, dan adanya alelopati adalah beberapa karakteristik yang
diharapkan yang dapat digunakan dalam teknik genetika.
Solusi pemecahan masalah gulma
dapat berasal dari bioteknologi, transgenik, dan tanaman padi yang tahan
herbisida. Penggunaan tanaman GM di
beberapa negara telah menunjukkan bahwa hal ini lebih efisien dilihat dari segi
biaya, lebih fleksibel dalam hal waktu pengaplikasian, memiliki kemampuan yang
lebih baik dalam mengendalikan gulma, dan mengurangi atau menghilangkan
tindakan pengolahan lahan. Rintangan dalam penggunaan tanaman GM adalah
kesulitan dalam memindahkan gen yang toleran ke tanaman yang masih liar,
menimbulkan masalah gulma baru, meningkatnya ketergantungan terhadap penggunaan
bahan kimia dan varietas tanaman, dan sulitnya mempertahankan resistensi
tingkat tinggi pada semua kondisi.
Pembungaan yang sinkron, ciri
yang terbawa oleh polen, penyerbukan, dan hasil persilangan yang subur harus
dapat dihasilkanpada satu atau beberapa generasi, agar gen dapat tersalurkan
melalui persilangan antara tanaman yang telah dibudidayakan dengan tanaman
spesies liar. Pelepasan gen tahan herbisida tidaklah semudah yang dibayangkan
sebelumnya karenagen tersebut tidak dapat memberikan ketahanan terhadap
herbisida di lapang apabila hanya sendirian. Resiko transfer gen sangat tinggi
pada tanaman yangmasih asli atau saat tanaman tersebut tumbuh bersama-sama
dengan gulma yang mendorong seleksi secara evolusi. Hal inilah yang menjadi
alasan mengapa pelepasan kedelai transgenik di Asia timur dan padi di India
menjadi berbahaya.
Masa depan tanaman GM terlihat
cerah, namun teknologi tentang pelepasan tanaman GM di lapang masih perlu
dikembangkan lagi.Alternatif lain dalam pengembangan tanaman tahan herbisida
spesifik yaitupengembangan padi tahan herbisida, yang bukan merupakan tanaman
GM.
Alelopati sebagai
Faktor Penting dari Manajemen Gulma yang Berkelanjutan
Alelopati adalah pengaruh
langsung dari bahan kimia yang dikeluarkan oleh tanaman yang satu pada
perkembangan dan pertumbuhantanaman lainnya. Alelopati dapat juga menjadi
alternatif dan tambahan dalam hal teknik dan manajemen gulma. Saat ini
alelopati yang potensial dari tanaman
padi telah mendapat perhatian yang besar. Terdapat efek alelopati pada tanaman
padi terhadap gulma Heteranthera limosa,
bahan kimia yang dikeluarkan oleh padi mempengaruhi pertumbuhan dari gulma ini.
Gen yang mengatur sifat alelopati dapat dimasukkan ke padi hibrida, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan produksi hasil panen padi sebesar 20-30%. Tanaman
yang memiliki sifat alelopati dapat digunakan sebagai pengendali gulma.
Kebutuhan
Pengukuran Langsung terhadap Serangan Gulma yang Intensif
Pergerakan spesies yang sangat
besar di seluruh dunia menjadi bahaya yang nyata bagi biodiversitas dan
kelangsungan produksi pertanian.
Kemampuan suatu spesies dalam mempengaruhi tanaman pada suatu habitat telah
dipelajari secara mendalam, namun tidak ada konsensus mengenai gulma yang telah begitu mendalam dipelajari. Tidak
ada satupun karakteristik yang menjadi pengaruh utama pada serbuan gulma di
suatu area pertanaman. Beberapa
kombinasi dari karakteristik spesies yang ada seperti masa hidup dan interaksi
genetik antara komponen biologi dan ekologi pada kondisi lingkungan tertentu,
yang selanjutnya berakibat terhadap adanya serangan oleh gulma. Dibutuhkan
Usaha yang berat untuk mencegah pergerakan luas dari serangan gulma yang timbul, deteksi awal serangan gulma dan
pemusnahan dari gulma yang telahmenyerang secara tepat harus segera
dilaksanakan.
Alelopati Untuk
Meningkatkan Produksi Tanaman
Manajemen
dari gulma pertanian yang berbahaya. Di USA, tidak kurang dari sepuluh juta dolar
tanaman hilang diakibatkan oleh gulma (Putnam dan Weston, 1986). Sebagian besar
petani mengatasinya dengan cara menggunakan herbisida sintetis yang tidak hanya
mahal, tetapi juga berbahaya bagi lingkungan. Saat ini, dorongan peralihan
penggunaan herbisida biologi. Herbisida biologi ini tidak hanya sistemik,
tetapi juga biodegradable.Penekanan gulma dapat diperoleh
melalui pertumbuhan tanaman budidaya atau residunya (Putnam dan DeFrank, 1983).
Tiga pendekatan dimana alelopati dapat
dimanipulasi untuk pengelolaan gulma antara lain : (a) transfer prinsip-prinsip alelopati ke
dalam kultivar, (b) pengunaan tanaman
rotasi yangcalelopatik dan tanam tumpangsari, (c) penggunaan alelokimia
sebagai herbisida atau pestisida.
Transfer
Prinsip Alelopati kedalam Kultivar. Varietas liar dari tanaman-tanaman pertanian
yang telah dibudidayakan memilikikemampuan alami untuk mengembangkan pertahanan
diri terhadap gulma dan serangga. Tercatat bahwa aksesiAvena spp. (Fay dan Duke, 1997), Cucumis sativus(Putnam dan Duke, 1978), Glycine max
(Massantini, Coporali, dan Zellini, 1977), Helianthus annuus (Leather, 1987), dan
Brassicaspp. (Sarmah, Narwal, dan Yadava, 1992) memiliki kemampuan menekan
pertumbuhan gulma. Dengan kata lain, gen yang bertanggungjawab untuk
mensintesis alelopati harus aktif di
dalam tanaman tersebut. Selama metode pembudidayaan dan seleksi varietas
tanaman yang berdaya hasil tinggi, gen-gen pengendali alelopati menjadi lemah
atau hilang sama sekali. Sekarang ini melalui teknik-teknik rekombinasi genetik
dan pemuliaan tanaman gen-gen yang penting seperti ini mulai dikembangkan lagi.
Penggunaan
Tanaman Rotasi yang bersifat Alelopatik
dan Tumpangsari.
Teknik rotasi tanaman yang meminimalkan bahaya serangan hama dan penyakit
semakin menurun dengan adanya penggunaan anorganik dan herbisida sintetis.
Ketergantungan pertanian modernpada bahan kimia tersebut sangat berbahaya bagi
lingkungan dan kesehatan manusia.Pada sistem pertanaman semusim ataupun
tahunan, tanaman tumpangsari dan tanaman rotasi yang memiliki kemampuan menekan
gulma melalui potensi alelopatinya dapat digunakan untuk mengendalikan gulma
(Liebman dan Dyck, 1993). Tidak hanya tanaman tersebut, residunya juga memiliki
potensi untuk menekan gulma. Penggunaan tanaman rye (Secale cereale) sebagai
tanaman tumpangsari dilaporkan dapat menekan sejumlah gulma (Putnam, DeFrank,
dan Barnes, 1983). Sementara, Sorghum
bicolor(Putnam dan DeFrank, 1983),
Helianthus annuus (Leather, 1987),
Hordeum vulgare(Putnam, DeFrank, dan Barnes, 1983) dan tanaman
Cruciferous (Oleszek, 1987) juga menurunkankeberadaan gulma jika ditanam
sebagai tanaman tumpangsari atau sebagai rotasi. Penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk menseleksi tanaman tumpangsari yang memiliki kemampuan menekan
pertumbuhan gulma.
Alelokimia
sebagai Herbisida atau Pestisida. Alelokimia dari tanaman tingkat tinggi dapat
digunakan untuk menekan pertumbuhan gulma atau hama. Metode seperti ini aman
dan efektif karena produk yang digunakan adalah produk alami yang dapat dengan
mudah terurai, tidak seperti herbisida sintetis yang persisten. Kelebihan
lainya adalah penggunaan alelokimia ini memiliki umur simpan yang lebih lama,
kondisi penyimpanan yang bervariasi, aplikasi yang mudah, lebih luas cakupan
lingkunganya, dan kebutuhan ruang yang lebih sedikit.
Scopolin dan scopoletin yang
merupakan phytotoksindari Celtis
laevigatatelah dilaporkan dapat menekan
Amaranthus palmeri(Lodhi dan Rice, 1971). Caffeine, alelokimia dari
Coffea Arabica, menghambat perkecambahan Amaranthus spinosus (Rizvi, Mukerji,
dan Mathur, 1981). α-terthienyl (α-T) yang diproduksi oleh famili asteraceae
dilaporkan efektif mengendalikan gulma Asclepias syriaca(Champbell et al.,
1982) dan beraksi sebagai herbisida kontak terhadap beberapa gulma berdaun
lebar (Lambert, et al., 1991).
Artemisinin, lakton sesquiterpen dari
Artemisia annua, menghambat pertumbuhan akar dan tajuk Amaranthus retroflexus, Ipomoea lacunosa, dan Portulaca oleraceapada
33 mM (Duke, et al., 1987) dan memiliki level penghambatan yang sama dengan
glifosat (Chen, Polatnick, dan Leather, 1991). Cnicin, alelopati dari Centaura maculosamenghambat perkecambaha
gulma Agropyron cristatum, A. spictatum, dan
A. glaucum(Kelsey dan Locken, 1987). Perez (1990) melaporkanbahwa asam
hydroxamic yang memiliki nama 2,4-Dihydroksy-7-methoksy-1,4-benzoxazin-3-one
(DIMBOA) dan dekomposisi produknyayang bernama 6-methoxy-benzoxazin-2-one
(MBOA) menghambat pertumbuhan akar gulma ganas oat liar (Avena fatua).
Alianthone, senyawa quassinoid yang diestrak dari akar Ailanthus altissimadilaporkan memiliki
kemampuan sebagai herbisida
post-emergence mirip seperti glifosat dan paraquat (Heisey, 1996).
Pengendalian
Penyakit Tanaman. Alelopati dapat digunakan untuk pengendalian
penyakit tanaman secara biologi. Beberapa studi yang telah dilakukan dalam
dekade terakhir telah berhasil mengendalikan penyakit tanaman dengan
menggunakan alelopati tanaman rotasi ataupunalelokimia (Rice, 1995).
Pemanfaatan rotasi tanaman
untuk menekan pertumbuhan gulma ternyata telah direkomendasikan di Cina untuk
pengendalian penyakit layu kapas yang disebabkan oleh Fusarium
sp, dimana penanaman Mentha
haplocalyxvar Piperscens dalam rotasi dengan kapas nyata menurunkan kejadian
layu kapas akibat minyak volatile yang dikeluarkannya (Li, 1988).
Cara lain untuk mengendalikan
penyakit tanaman adalah dengan menggunakan alelokimia baik bentuk kasar maupun
murni. Catatan siginifikan adalah penggunaan neem (Ghewande, 1989),
eucalyptus(Singh dan Dwivedi, 1990), tembakau (Menetrez, et al., 1990), jahe
(Endo, Kanno, dan Oshima, 1990), tagetes (Lihsore dan Dwivedi, 1991), dan Salviasp (Qureshi, Ahmed, dan Kapadia, 1989).
Alelokimia tersebut mungkin dalam bentu ekstrak tanaman, fraksi organik, fraksi
volatil dan nonvolatile, minyak ataupun senyawa organic. Penyakit tanaman dapat
juga dikendalikan dengan menggunakan efek antagonistic antibioticyang
diproduksi oleh mikroorganisme lain (Rice, 1995). Dengan kemajuan rekayasa genetika dan
teknologi DNArekombinan, lebih banyak penelitian yang digunakan untuk tujuan
tersebut.
Manajemen
Hama. Manjemen hama merupakan tantangan lain bagi
produksi pertanian berkelanjutan. Untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetis berlebihan,
harus dikembangkan alternativeseperti meningkatkan resistensi tanaman terhadap
hama atau penggunaan bahan kimia yang lebih aman terhadap lingkungan. Pyrethrum
dari Chrysanthemum cinerariefolium,
rotenoid pada Derris, Lonchocarpus, dan Tephrosiadan nicotinoids dari Nicotiana spadalah beberapa contoh klasik
insektisida yang dapat digunakan untuk menekan serangan hama sekaligus aman
terhadap lingkungan. DIMBOA (Hydroxamicacid) yang dijumpai pada jagung
menjadikan jagung tahan terhadap
European corn borer(Klun, Tipton, dan Brindley, 1967). Labih dari 2000
spesies tanaman memiliki kemampuan toksik terhadap hama (Crosby, 1971).
Kombinasi usaha-usaha yang dilakukan para peneliti dari berbagai bidang
diperlukan untuk mengekploitasi kemungkinan penggunaan alelokimia dari mikroba
atau tanaman tingkat tinggi.
Konservasi
Nitrogen di dalam Tanaman. Konservasi nitrogen dalam tanah sangat
penting untuk mempertahankan produktivitas tanaman dan manajemen sumber daya
alam. Pencegahan nitrifikasi yang
mengubah amonium (bentuk yang sulit tercuci) menjadi nitrat (bentuk yang mudah tercuci) sangat membantu di dalam
konservasi nitrogen sebaik energiyang tersimpan pada lahan pertanian.
Pentingnya konservasi nitrogen ini telahdisadari oleh para petani, dimulai
dengan penambahan bahan kimia sintetis untuk konservasi dalam tanah. Nitrapyrin
adalah salah satu produk yang umum digunakan untuk tujuan ini. Beberapa studi mengindikasikan
bahwa alelokimia, terutama tannin, asam fenolik, dan flavonoid, dari tanaman
hidup atau residunya atau exudatnya menghambat nitrifikasi (Rice dan Pancholy,
1973, 1974). Mulsa dari tanaman barley,
gandum dan oat ketika ditambahkan dalam pot yang berisi bibit tanaman Picea mariana meningkatkan kandungan amonium
dengan menurunkan jumlah pengoksidasi amonium sehingga menurunkan kehilangan
nitrogen dalam tanah. Pengaruh tersebut dihubungkan dengan kehadiran asam
fenolik pada mulsa tersebut (Jobidont,
Thibault, dan Fortin, 1989). Selain itu,penggunaan sampah daun Elaeagnus
angustifoliadilaporkan telah menstimulasi konservasi nitrogen pada tanah terdegradasi (Llinares et al.,
1993).
Alelopati-Alat
Bioteknologi yang Semakin Berkembang. Alelopati
dapat digunakan sebagai alat bioteknologi untuk manajemen pengendalian gulma
dan hama dengan cara transfer gen alelopati pada tanaman, meningkatkan produksi
racun alami sebagai herbisidaatau pestisida melalui kultur jaringan atau kultur
sel, teknologi DNA rekombinan dan
fermentasi mikroba, dan sintesis dan komersialisasi bahan kimia
berdasarkankandungan bahan kimia alami produk.
Seperti telah didiskusikan, gen
alelopati yang berasal dari aksesi liar dari kultivar modern dapat ditransfer
ke tanaman dengan teknologi rekombinan
dan praktek pemuliaan tradisional. Hal ini dapat membuat kultivar tersebut
tahan terhadap pengaruh gulma, pathogen, nematode, insek,dan lainnya. Hal ini
merupakan pemecahan yang sulit namun beberapa tanaman transgenic
seperti tembakau dan tomat diketahui telah memiliki resistensi yang
lebih kuat terhadap hama (Barton, Whitely, dan Yang, 1987; Fischhoff, et al.,
1987). Selain itu, produksi toksin tanaman alami yang bertanggungjawabterhadap
penekanan gulma atau hama dapat ditingkatkan melalui teknologi fermentasi
microbial.
Sintesis herbisida dan
pestisida berdasarkan produk alami telah membuka lembaran baru dalam manajemen
pengendalian gulma dan hama. Perkembangan pemanfaatan herbisida dan pestisida
alami ini diketahui dengan pemasaran dan komersialisasi dari Bialaphos sebagai
herbisida alami dibawah nama dagang Herbiaceae di Jepang (Hatzios, 1987).
Bialaphos iniadalah produk fermentasi dari Streptomyces hygroscopicusdan S. viridochromogenesdan sangat mudah
terdegradasi dalam tanah (Jobidon, 1991). Bialaphosmerupakan herbisida dengan
spektrum luas yang dapat mengatasi gulma rumput dandaun lebar. Rhizobitoxin,
alelokimia dari Bradyrhizobium
japonicumyang ditemukan pada nodul akar kedelai menunjukkan toksisitas selektif
terhadap gulma yang sebanding dengan herbisida sintetis Amitrole (Owen, 1973).
Sintesis Cinmethyline oleh Shell di USA
yang memiliki kemiripan kimia dengan Cineole (produk dari tanaman tingkat tinggi)
telah merangsang lebih jauh ketertarikan peneliti untuk desain biorasional.
Beberapa bahan kimia analog telah disintesis (Tabel 2.2). Perusahaan di Jerman,
USA, Swis, dan Jepang telah mengkomersialisasikan produk tersebut. Senyawa
sejenis yang akan dikomersialisasikan mendatang adalah artemisinin yang sduah
diketahui sebagai obat malaria (Chen, Polatnick, dan Leather, 1991) dan
ailanthone (Heisey, 1996).
Tabel
2.2. Daftar beberapa herbisida sintehesis secara komersial
Senyawa Alami
|
Origin
|
Merk Herbisida
|
Perusahaan
|
Anisomysin
|
Saproinhibitin
|
Methoxyphenone
|
Nihon,
Japan
|
Benzoxazinones
|
Phytoinhibitin
|
Banzanin
|
BASF,
Jerman
|
Bialaphos
|
Saproinhibitin
|
Herbiaceae
|
Japan
|
Cineole
|
Phytoinhibitin
|
Cinmethyline
|
Shell,
USA
|
Fusaric
Acid
|
Saproinhibitin
|
Picloram
|
DOW,
USA
|
Iprexil
|
Saproinhibitin
|
Benzodoc
|
Gulf,
USA
|
Moniliformin
|
Saproinhibitin
|
3,4-dibutoxy
moniliformin
|
Ciba-Geigy,
Swiss
|
Alelokimia dapat langsung
digunakan sebagai herbisida misalnya parthenin, ailanthone, cineole. Parthenin,
laktone sesquiterpen dari gulma ganas
Parthenium hysterophorussudah digunakan sebagai pengendali gulma
perairan (Pandey, 1996). Upaya sedang
dilakukan untuk menggunakan parthenin sebagai herbisida gulma daratan. Hasil
penelitian sudah menunjukkan adanya perubahan kemampuan respirasi pada tanaman
tingkat tinggi (Kohli, Daizy, dan Verma, 1993). Bagaimanapun, untuk kesuksesan
penggunaan senyawa alami sebagai herbisida, penting untuk mengetahui
toksikologinya,biaya produksi, efikasi dan selektivitasnya di lapangan, dan
kesuksesan lisensidan patennya (Duke dan Lydon, 1987). Aspek bioteknologi
alelopati lainnya adalah penggunaan
alelopati sebagai pengatur tumbuh. Aspek ini penerapannya masih sedikit.
Beberapa alelokimia diketahui memiliki kegunaan sebagai pengatur tumbuh.
Mekanisme Kerja Alelokimia
Sebagian besar penelitian
alelopati menyinggung pada pengaruh yang terlihat terhadap perkecambahan dan
petumbuhan spesies target. Sedikit perhatian sudah dilakukan terhadap kejadian
seluler yang mengikuti perubahan fisiologi di dalam sistem tanaman. Meskipun
demikian, beberapa studi sudah tersedia didalam hal ini, dengan secara luas,
melibatkan senyawa fenolik, terutama asam
benzoic dan cinnamic. Pada kasus
lactone terpenoid seperti parthenin dan artemisinin beberapa studi menunjukkan
perubahan dalam metabolisme respirasi (Duke et al., 1987; Kohli, Daizy, dan
Verma, 1993). Beberapa kejadian fisiologi yang dipengaruhi oleh alelokimia yang
menghasilkan pengaruh yang terlihat pada spesies tanaman adalah yaitu
pembelahan sel (Muller, 1965), biosintesis bagian tanaman (Van Sumere, et al.,
1972), perubahan tingkat hormonal (Lee, Starrat, dan Jevnikar, 1982), aktivitas
enzim (Daizy, 1990); Devi dan Prasad, 1992), transpor air (Barkosky dan
Einhellig, 1993), fotosintesis (Daizy dan Kohli, 1991; Einhellig dan Rasmussen,
1993), respirasi (Hejl, Einhellig, dan Rasmussen, 1993; Kohli, Daizy, dan
Verma, 1993) dan uptake ion(Booker, Blum, dan Fiscus, 1992).
Studi pada pemahaman tentang
mekanisme kerja alelokimia masih sedikit. Kekurangan informasi pada studi ini
mungkin disebabkan oleh alasan sebagai berikut: keterlibatan lebih dari satu
bahan kimia yang mempengaruhi transformasi pertumbuhan melalui pengaruh
sinergistik atau pengaruh aditif. Transformasi alelokimia di dalam tanah
melalui aktivitas mikrobamenyebabkan formasi senyawa yang tidak teridentifikasi
sehingga mekanisme kerjanya sulit dinterprestasikan, retensi dari alelokimia
oleh partikel tanah atau humus untuk beberapa waktu, dan banyaknya alelokimia
alami yangmembuat subjek ini semakin kompleks.
Pengetahuan alelopati
melibatkan interaksi biokimia yang kompleks diantara tanaman. Demonstrasi yang
dilakukan di bawah kondisi lapang tidak semudah yang diujikan di laboratorium.
Namun apabila hal ini dapat dipelajari lebih mendalam maka fenomena alelopati
ini akan dapat bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Beberapa
kajian/penelitian prospek alelopati yang dibutuhkan mencakup:
• Untuk membatasi penggunaan bahan kimia
sintetis danbahan kimia yang merusak sistem pertanian berkelanjutan, alelokimia baik microbial maupun tanaman tingkat tinggi
dapat menyediakan alternatif untuk program perlindungan tanaman terpadu. Hal
ini secara ekonomi murah dan aman dilihat dari segi lingkungan. Screeningbeberapa alelokimia dengan rancangan
percobaan yang sesuai merupakan area riset yang paling menarik.
• Investigasi seharusnya dilakukan untuk screening
alelopati tanaman dengan toksisitas yang selektif terhadap gulma dan beberapa tanaman sebagai rotasi tanaman mana
yang harus digunakan untuk rotasi tanaman.Petani seharusnya didorong untuk
mengikuti praktek ini ketika penggunaan
berlebih dari bahan kimia sintetik sudahmerusah kesehatan tanah.
• Penggunaan teknik rekombinasi DNA untuk
memodifikasi DNA tanaman agar didapatkan sifat yang diinginkan seperti
ketahanan terhadap hama dan kemampuan untuk menekan pertumbuhan gulma; untuk
meningkatkan produksi senyawa alami yang bisa digunakan sebagai herbisida, pestisida atau pengatur tumbuh.
D. Kemajuan Penggunaan
Bioherbisida
Review komprehensif telah dilakukan
tentang dasar-dasar, metodologi, dan kemajuan pengendalian secara biologi
(Charudattan, 1991; hasan dan Ayers,
1990; Julien, 1992a; Schrooder, 1983; TeBeest dan Templeton, 1985; Wapshere,
1982; watson, 1989; watson, 1991b). Upaya pengendalian secara biologi sudah
dilakukan pada gulma padi sawah antara lain pada gulma air Eichhornia crassipesdan Salvinia molesta(Julien, 1992a; watson,
1991a). Saat ini inisiasi penelitian
pada pengendalian gulma secara biologi sudah dikonsentrasikan pada tiga gulma
yang tidak secara umum tidak menginfestasi pada padi sawah, yaitu Chromolaena
odorata, Mikania micrantha, dan Mimosa pigra(Julien, 1992a). Hampir semua
penelitian saat ini melibatkan serangga dengan hanya menguji patogen tanaman
sebagai agen pengendali biologi.
Dua fungi pathogen tanaman
sudah diregistrasi di USA dan di Kanada sebagai produk bioherbisida, yaitu Phytophtora palmivorauntuk mengendalikan
Morrenia odoratadalam bentuk formulasi cair dengan nama dagang DeVineTMyang
telah diregistrasi pada tahun 1981 dan
Colletotrichum gloeosporioidesf.sp. aeschynomenedalam bentuk formulasi
tepung kering dengan merek dagang
CollegoTMuntuk mengendalikan
Aeschynomene virginicapada tanaman padi sawah dan kedelai di Arkansas,
Louisiana, dan Mississippi. Colletotrichum
gloeosporioidesf.sp. malvae juga telah diregistrasi pada tahun 1982 di
Kanada untuk mengendalikan Malva
pusilladengan merek dagang BioMal TM(Makowski dan Mortensen, 1992). Colletotrichum gloeosporioidesf.sp. cuscutae
dengan merek dagang LUBAO2 juga telah digunakan untuk mengendalikan Cuscuta sp. di pertanaman kedelai di China.
Evans (1987) telah mereview
secara lengkap tentangpatogen fungi yang berasosiasi dengan gulma tropik dan
subtropik sertabagaimana prospek penggunaan patogen tersebut untuk
mengendalikan setengah dari gulma tersebut. Salah satu gulma target dari
penelitian Evans (1987) adalah
Rottboella cochinchinensis yang
merupakan gulma darat yang menjadi target International Institute of Biological
Control (IIBC). Berbagai patogen telah diisolasi dari penyakit yang ada
pada Rottboella cochinchinensis, tetapi hampir semua patogen yang diisolasi
tersebut juga menjadi patogen pada tanaman jagung. Studi lanjutan masih terus
dilakukan dengan dua isolat fungi yaitu
Colletotrichum sp dan
Sphacelotheca sp.
Saat
ini penelitian pengendalian gulma secara biologi telah diinisiasi oleh
International Rice Research Institute (IRRI) dan University of the Philippines
(UPLB), Los Banos bekerjasama dengan McGill University, Montreal, Canada untuk
mengevaluasi prospek penggunaan indigenuous patogen fungi untuk mengendalikan
gulma utama pada tanaman padi (Bayot,et al, 1992; Watson, 1991a). Gulma utama
yang menjadi target antara lain Cyperus
difformisL., C. iriaL., C. rotundusL.,
Echinochloa colona(L) Link., E. cruz-galli(L.) P. Beauv., Fimbristylis
miliacea(L.) vahl., Mimosa
invisaMart., Monochoria
vaginalis(Burm.f.) Kunth, dan Spenochlea
zeylaniaGaertn. Patogen virulen telah diisolasi dari C. iria,
E. colona, M. invisa, dan S. zeylania. Dua gulma terakhir telah
berhasil dikendalikan (100%) di percobaan lapang IRRI (Bayot, 1992).
Di jepang dan beberapa negara
tetangga penelitian telah dilakukan pada Eleocharis, Echinochloa, dan beberapa
gulma lainnya(Imaizumi et al, 1991, Suzuki, 1991, Yoo, 1991). Tujuan riset
sudah diarahkan pada upaya untuk mengisolasi phytotoxic metabolit dari fungi
gulma dan mikroorganisme lain (Yamaguchi dan Yoo,1991).
Hambatan yang sering dijumpai
dalam pengembangan bioherbisida adalah virulensi patogen dan kebutuhan
lingkungan yang kritis (Charudattan, 1991, Templeton, 1982, dan Watson, 1989).
Beberapa aspekdari patogen bioherbisida seperti peningkatan virulensi,
perbaikan produksi toksin, perubahan skala inang, resistensi terhadap senyawa
kimia untuk produksi tanaman, perubahan survival atau persistensi pada
lingkungan, perluasan toleransi terhadap lingkungan, peningkatan produksi
propagula dalam sistem fermentasi, mempertinggi toleransi pada proses
formulasi, dan pendekatan formulasi inovatif adalah beberapa target untuk
pengembangan secara genetic dan bioteknologi
dari patogen bioherbisida (Templeton dan Heiny, 1989).
Optimalisasi produksi spora
sering merupakan aspekkritis dalam mendefinisikan sukses atau tidaknya prospek
pengembangan bioherbisida (Boyette et al, 1991; Stowel, 1991). Beberapa
kandidat patogen bioherbisida tidak segera sporulasi di dalam kultur. Optimasi
nutrisi dalam medium fermentasi,
lingkungan kultur, dan aspek ekonomi adalah aspek kritis untuk suksesnya
pengembangan bioherbisida (Stowell, 1991).
E. Invasive Alien Spesies
Perkembangan
ilmu gulma saat ini tidak hanya terfokus pada gulma yang sudah umum terjadi di
lingkungan pertanian, namun juga pada gulma-gulma yang baru dan memiliki
pertumbuhan yang cepat sehingga mendominasi suatu wilayah tertentu. Gulma
tersebut diberi istilah Invasive Alien
Species. Menurut CBD (Convention on
Biological Diversity), gulma dikategorikan
Invasieve Alien Species(IAS) apabila memiliki criteria sebagai berikut :
1. Spesies yang diintroduksi secara sengaja maupun
tidak disengaja di luar habitatnya
2. Memiliki kemampuan membentuk diri, menyerang,
berkompetisi dengan spesies asli dan mengambil alih lingkungan barunya
3. Penyebarannya merupakan ancaman bagi upaya
konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati pada skala
lokal, regional dan global
Gulma
yang tergolong invasive alien
spesies yang dijumpai di Indonesia
antara
lain sebagai berikut :
Acasia nilotica
Gulma Acasia niloticamerupakan spesies asli dari
Africa yang pada tahun1850 diintroduksi ke Jawa. Pada tahun 1900 spesies ini sudah dijumpai di Bogor dan Jakarta, pada
tahun 1931 dijumpai di Pasuruan, dan
pada tahun 1985 sudah dijumpai di Pulau Timor. Pada tahun 1969, spesies ini
diintroduksi di Taman Nasional Baluran sebagai tanaman pagar untuk hutan jati
dari api di savanna.
Pada
tahun 1980 invasi kecil sudah dilaporkan dan dalam waktu singkat menjadi
ekspansive. Dampak ekologi yang terjadi antara lain spesies tersebut menginvasi
hampir seluruh areal savana yang merupakan sumber pakan utama bagi satwa
mamalia terestrial (banteng, rusa, dan kerbau liar) sehingga terjadi kompetisi
antar satwa yang mengakibatkan populasi banteng menurun. Pada tahun 1993
dilaporkan 12000 ha savanna terinvasi oleh spesies tersebut dan pada tahun 1996
telah meluas sampai 5000 ha. Kondisi tersebut
menimbulkan dampak ekonomi yaitu adanya biaya tinggi untuk menanggulangi
penyebaran Acacia niloticadan untuk
memulihkan kembali fungi ekologis yang telah berubah.
Austroepatorium inulifolium =
Eupatorium inulifolium
Gulma A. inulifoliummerupakan spesies asli Amerika
tropik yang didatangkan ke Kebun Raya Bogor. Saat ini gulma inibanyak dijumpai
Jawa Barat, umumnya di kebun teh, banyak juga dijumpai di Cibodas, Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango. Gulma A.
inulifoliumdi Bengkulu dijumpai dan mengganggu tanaman kehutanan, perkebunan,
tanaman tahunan dan sisi kanan kiri jalan raya.
Chromolaena odorata
Gulma C. odorata
merupakan spesies asli Amerika Selatan dan Tengah. Gulma tersebut secara
agresif menginfasi ladang penggembalaan dan tanaman perkebunan, merupakan gulma
utama pada berbagai lingkungan yang dapat menekan vegetasi lain. Gulma C.
odorata di Indonesia pertama kali
dilaporkan di Lubuk Pakam, Sumatra Utara pada tahun 1934. Gulma ini menyebar
sangat cepat dan saat ini menyebar ke seluruh pulau dari Aceh sampai Papua.
Gulma C. odorata menginvasi taman nasional Pananjang,
Pangandaran, Ujung Kulon, dan padang rumput Nusa Tenggara
Clibadium surinamense
Gulma C. surinamensemerupakan spesies asli Amerika
tropik. Spesies tersebut ternaturalisasi sejak lama di Jawa dan koleksi pertama
kali dijumpai pada tahun 1888. Di Sumatera dilaporkan dijumpai tahun 1931. Saat
ini spesies C. surinamenseumum dijumpai
di Sumatera, juga dicatat dari Gimpu, Sulawesi Tengah. Gulma C. surinamensedijumpai kelimpahannya di lahan
pertanian, sisi jalan, dan hutan sekunder muda.
Eichornia crassipes
Gulma
eceng gondok (E. crassipes) diintroduksi dari pesisir Amazone sebagai tanaman
hias di danau Kebun Raya Bogor padatahun 1886. Dalam waktu cepat, spesies
tersebut menyebar ke seluruh Indonesia. Hampir semua perairan di Indonesia
terinvasi oleh eceng gondok. Di Jawa Tengah, gulma ini menginvasi hampir
seluruh permukaan rawa pening.
Eupatorium sordidum
Gulma E. sordidummerupakan spesies asli Meksiko
yang diintroduksi ke Jawa Barat sebagai tanaman hias. Spesies ini berkembang
sangat cepat dan saat ini menjadi masalah di Taman Nasional Gede Pangrango pada
ketinggian 1400-17000 m dpl.
Hydrilla verticillata
Gulma
spesies H. verticillatamerupakan gulma
perairan. Gulma ini dilaporkan dijumpai pada daerah perairan terbuka ditiga
pulau yaitu pulau Jawa, Sulawesi, dan Sumatera.
Mikania micrantha
Spesies
M. micrathapada tahun 1949 diimpor dari Paraguay dan ditanam di Kebun Raya
Bogor. Pada tahun 1956 spesies ini diintroduksi sebagai tanaman penutup tanah
non legum di perkebunan karet. Pada tahun 1976 spesies M. micranthatelah menjadi gulma dan
mengokupasi sebagaian besar kebun karet dan tersebar luas di lahan pertanian di
Jawa Timur dan Barat serta Sumatera Selatan.
Mimosa diplotrica = M. invisa
Spesies M. invisamerupakan spesies asli Brasil dan
menyebar luas diIndonesia. Saat ini spesies
M. invisabanyak dijumpai pada daerah terbuka maupun lahan ternaungi, di
daerah irigasi, sisi jalan, padang rumput, lahan pertanian, perkebunan tebu dan
kelapa.
Mimosa pigra
Gulma
M. pigra merupakan spesies asli Amerika Tropis. Spesies M. pigrasudah ditemukan di Jawa pada tahun
1844. Spesies ini dilaporkan dijumpai di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Spesies ini membentuk lapisan yang sulit
ditembus pada daerah lembab, kanal, sungai, reservoir.
Passiflora edulis
Gulma P. edulismerupakan spesies asli Amerika
Selatan. Spesies ini ternaturalisasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah dan
berkembang cepat. Spesies ini menjadi problem di Gunung Gede Pangrango dengan merambati
tanaman hutan sehingga menekan tanaman hutan.
Penisetum polystachion
Gulma P. polystachionmerupakan spesies asli Afrika
tropis. Gulma ini telah dilaporkan di Jawa Barat pada tahun 1972 sebagai
turfgrass dan menyebar cepat pada sisi-sisi jalan, tempat terbuka, lahan padi
gogo, lahan perkebunan. Gulma P.
Polystachion menjadi dominan pada lahan
bukaan hutan, menyebar dengan cepat setelah pembukaan hutan.
Piper aduncum
Gulma P. aduncummerupakan spesies asli Amerika
Tengah dan Selatan.Spesies ini diintroduksi ke Kebun Raya Bogor. Herbarium
pertama dijumpai dari Bogor tahun 1900 dan menyebar luas di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Kalimnantan, Sulawesi,
Maluku, dan Papua. P. aduncummenjadi
gulma lingkungan yang berbahaya karena penyebarannya cepat menginvasi lahan.
Salvinia molesta
Spesies
S. molesta merupakan gulma perairan. Gulmaini dilaporkan telah dijumpai di
daerah perairan terbuka di Jawa, Kalimantan, dan papua.
Stachytarpeta indica
Spesies A. indicamerupakan spesies asli Amerika
tropis. Gulma ini umum dijumpai di Jawa, Sulawesi dan Timor. Gulma ini menyebar
secara luas dan menyebabkan problem di Papua. Spesies ini menjadi salah satu
masalah gulma di perkebunan di Sumatera hingga Papua.
0 komentar "I. Perkembangan Ilmu Gulma ", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar
Kita adalah penjelajah,,tinggalkanlah jejak anda dimanapun anda kunjungi.
semoga bermanfaat